Sang Kelana

Fadhli Amir
Chapter #2

Bab Dua: Punggung Ayah

Sebulan berlalu, Ayah tak pernah sampai di rumah Kakek. Kau pun tak perlu lagi berharap Ayah dan Ibu bertengkar setiap akhir pekan, karena kau sudah resmi menetap di rumah Kakek. Rumahmu yang dulu sudah menjadi milik bank. Entah Ayah berhutang berapa banyak dan untuk apa. Setidaknya itulah yang kaudengar dari obrolan Ibu dan Kakek yang sempat mampir di telingamu. Saat itu, perkara utang piutang tidak begitu penting bagimu. Kau selalu menjadi bocah penurut yang menjalankan semua perintah Ibu.

Di benakmu, apakah justru Ayah dan Kakek yang saling membenci? Meski kau menikmati hidup manja di rumah Kakek, ada rasa kangen yang melanda rongga dadamu. Tiba-tiba kau ingin bertemu Ayah.

Di rumah Kakek, seusai shalat subuh, para pekerja sudah ramai berdatangan. Ada yang naik sepeda, ada pula yang berjalan kaki. Mereka datang dari segala penjuru. Deru langkah kaki mereka yang tidak beraturan berpadu serasi dengan ciutan burung-burung. 

Mereka yang datang dari arah berbeda saling bertegur sapa. Ada yang menanyakan kabar, mungkin salah satunya baru muncul lagi. Ada juga yang menanyakan nyenyak atau tidak tidurnya semalam. Ingin rasanya kau menjawab bahwa pengalaman pertama tidur di rumah Kakek sulit dilupakan.

Sambil mengunyah roti, kau duduk di serambi depan menyaksikan mereka mengambil peralatan di gudang. Mereka keluar dengan membawa keranjang besar di punggungnya. 

Dari atas rumah pun kau bisa melihat Kakek begitu sibuk memberikan pengarahan kepada para pekerja, entah mengatakan apa. Satu hal yang bisa kaudengar, hari itu akan ada panen di salah satu lahan, entah lahan yang mana. Kakek memiliki hamparan lahan yang tersebar di seluruh Hamur dan hampir di seluruh Utara. Berbeda dengan lahan Ayah yang mungkin luasnya hanya sepersepuluh bagian milik Kakek. Itulah kenapa kau selalu takjub ketika berada di rumah Kakek. Jenis tanamannya pun beragam. Ayah hanya menanam padi, jagung, dan cabai. Sementara Kakek menanam segala jenis sayuran, buah-buahan, bahkan ada peternakan ayam, sapi, kambing, dan kerambah lele. Semua keperluan dapur terpenuhi oleh lahan-lahan tersebut. Separuh penduduk Utara bahkan menggantungkan hidupnya dari lahan itu.

Suara napas berat dan langkah pelan mendekatimu. Kau bisa menebak itu Mak Keno. Seperti biasa, ia mengusap kepalamu dan tersenyum, menatap ke hamparan lahan yang bisa kaulihat dari semua sisi dan sudut rumah. 

“Kamu satu-satunya cucu laki-lakinya.” 

Mak Keno membidik telunjuknya ke arah Kakek yang sedang komat-kamit. 

“Kelak, kamu yang akan berdiri di sana.” 

Lihat selengkapnya