Ia melangkah tegas menuju parkiran setelah berpamitan dengan kepala cabang bank dan kerabat kerjanya. Kelana mengendarai motornya bergabung dengan pengendara lain di kerumunan jalan raya. Ransel hitam menunggangi punggungnya yang berbalut jaket cokelat tua; barang terakhir yang ia beli dengan gaji terakhirnya. Siang ini ia akan memulai perjalanannya menuju Utara.
Ia terus menancap gas, memacu kecepatan motornya, meninggalkan kota yang telah menjadikannya pribadi berbeda. Ia tumbuh di pesatnya pertumbuhan kota besar di pusat Barat; tempat semua orang dari segala penjuru menaikkan statusnya. Kota yang tidak peduli seperti Kelana yang meninggalkan segala sesuatu yang ia warisi di Utara, tidak peduli kepada siapa pun yang menahannya. Saat itu, keputusan untuk pergi begitu cepat, sementara untuk pulang butuh waku sebelas tahun.
Semakin jauh meninggalkan Barat, Kelana mengisi kepalanya dengan ingatan silam sepanjang perjalanan. Tidak banyak yang tersisa untuknya di Utara, dan tak ada apa-apa yang ia bawa pulang. Namun, keinginannya untuk kembali terlalu kuat, meski tak sekuat penyesalannya telah memutuskan pergi.
Kemacetan panjang luar biasa menjebaknya di sepertiga jalan. Kendaraan berbaris pasrah karena terpaksa. Suara klakson memekik berbarengan memekakkan telinga. Suara bising jalanan, udara yang keruh, siang yang pekat, Kelana mengusap peluhnya, merapal keluhnya. Semua orang mengucapkan mantra amarah.
Nyaris tak ada yang bisa dilakukannya. Hampir semua orang mengumpat – terutama pengendara motor, entah menyalahkan siapa. Setelah terjebak beberapa jam tanpa kabar yang terjadi di depan sana, seorang pedagang asongan melintas berseru lantang: “Cemilan, minuman! Cemilan minuman! Jembatan anjlok.”
Kelana menepi, mencari tempat berteduh, meninggalkan para pengendara yang kian mengeluh. Beberapa di antara mereka ada yang putar balik, ada yang masih menunggu. Mungkin para penunggu itu memiliki keinginan kuat seperti Kelana untuk mencapai Utara.
Setelah menyelip di sela-sela padatnya kendaraan yang sudah tidak beraturan, ia berhasil keluar dari jalan utama dan memarkir kendaraannya di samping kedai kecil di pinggir jalan di bawah kerumunan pepohonan rindang. Suhu tubuhnya melandai, pikirannya jauh lebih tenang. Ia meletakkan ranselnya lalu membeli minuman dan sebungkus rokok. Terdengar orang-orang sibuk membicarakan jembatan. Karena tak ingin terlibat dalam perbincangan, Kelana menghindar dan memilih duduk di jok motornya.
Dengan pandangan mengarah ke jalan, ia duduk mengistirahatkan persendiannya, lalu menyulut rokoknya. Asap mengepul dari hidung dan mulutnya. Ia seperti melepaskan beban pikiran dari kepalanya. Saat isapan terakhir, seseorang datang menuju ke arahnya. Lelaki berkulit gelap berbadan besar dan tegap, matanya menyala.
“Bu, es teh satu!”Tak dinyana suaranya lembut seperti bocah perempuan yang beranjak remaja. Terdengar tak serasi dengan perawakannya. Kelana meneguk minumannya setelah sadar ia baru saja menahan napas beberapa detik menyambut kedatangan orang itu. Ia tersedak karena berupaya menahan tawa. Lelaki paruh baya berbadan tegap bersuara lembut itu tersenyum, mendekati Kelana.
“Setelah beratus-ratus tahun, akhirnya jembatan itu putus juga.”
Kelana hanya diam dan terus mengisap rokoknya meski merasa terganggu oleh kehadiran orang yang tak dikenalnya.
"Bangunan kokoh dan benda mati seperti jembatan itu saja bisa putus seiring berjalannya waktu, apalagi hubungan manusia yang punya daya untuk memilih."
Kelana sengaja menyendiri untuk menghindari perbincangan dengan orang lain. Di perjalanan, semua orang bernasib sama. Ketika mampir beristirahat, selalu saja ada orang yang basa-basi mengobrol, seolah sudah saling kenal. Obrolan tak perlu, sedikit canggung. Semuanya berlalu ketika masing-masing kembali ke kendaraannya dan melanjutkan perjalanan. Alasan itu semakin diperkuat oleh kenyataan bahwa Kelana adalah seorang penyendiri dan tidak suka membicarakan hal yang tidak penting menurutnya.
“Seharusnya ada banyak jembatan lain yang dibangun. Sungai itu benar-benar jadi garis batas panjang. Tidak ada cara lagi selain menyeberang.”
Kelana mulai merasa terusik. Ia mencoba terus diam, tidak menanggapi omongan orang itu. Ia berharap obrolan putus dan orang itu pergi, tak peduli dengan perasaan sebal atau tidak. Namun, orang itu terus mengoceh. Beruntung, sepanjang ocehannya tidak ada satu pun pertanyaan. Jadi, Kelana tidak harus menjawab apa-apa dan punya alasan untuk tetap diam. Meski, telinganya sudah sangat panas. Ocehan orang itu lebih nyaring dari suara bising jalanan.
Lelaki itu menyodorkan tangannya hendak mengenalkan diri. Separuh giginya terlihat.
“Taju.”
Ia menahan senyumannya. Pribadi yang hangat meski sedikit menggelikan ketika mendengarnya berbicara dan melihat wajahnya bersamaan. Tak ingin terkesan terlalu angkuh, Kelana pun menjabat tangannya.
"Kelana.”
Telapak tangan Taju terasa dingin dan basah, sebab sedari tadi memegangi gelasnya yang berembun.
“Nama yang cocok untuk orang yang suka bepergian.”
Taju berusaha akrab. Sementara itu, Kelana memagari dirinya. Meski Taju tampaknya sosok yang menyenangkan, Kelana sangat sulit memercayai orang selain dirinya sendiri. Apalagi di pikirannya, ada kecurigaan bahwa orang itu penyuka sesama jenis. Suasana menjadi hening dan canggung di seberang jalan yang riuh dan sibuk memaki satu sama lain, membunyikan klakson di siang bolong.