Kelana dilanda dilema. Ia memandangi jalanan dari lantai tiga penginapan. Ia memutuskan menginap di perbatasan setelah menemui jalan buntu. Deretan kendaraan terus bertambah. Antrean kian memanjang. Kesempatan untuk menyeberang semakin kecil setiap detiknya, bahkan semakin tak menentu. Ia terus menimbang dua pilihan yang menyerangnya bersamaan. Bertahan seperti yang lain namun mendapatkan ketidakpastian, atau menuju Timur menempuh semua misteri kemungkinan.
Kelana menuju lobi untuk sarapan. Di sana sudah ada Taju yang sedang menikmati kopi.
“Kau sudah pernah ke Timur?”
Taju mengernyitkan dahinya, menajamkan pandangannya ke arah Kelana. “Kau berencana melewati rute itu? Wah..wah...wah....!”
Baru saja rokoknya habis, ia menyulut api untuk batang kedua. Kelana memerhatikan rokoknya dicomot begitu saja tanpa izin. Taju sepertinya tidak meghiraukan. Ia menengadah dan menyemburkan asap rokoknya ke atas.
“Kau serius mau lewat Timur?”
Sisa-sisa asap mengepul di permukaan bibirnya bersamaan kata yang mencuat dari lidahnya. Kelana lekas mengambil sebatang rokok. Melihat Taju yang mengisap rokok seperti menghirup oksigen, sepertinya Kelana takut kehabisan dan tidak kebagian lagi.
“Saya tidak suka menghabiskan waktu di sini menunggu antrean berhari-hari. Uangku cuma habis untuk bayar penginapan dan biaya makan.”
“Kalau kau ke Timur, bukan uangmu yang habis, tapi nyawamu.” Kelana malah tertawa cekikikan. “Oh, balas dendam. Sekarang kau yang tertawa.”