Orang itu ternyata hanya duduk di motornya, masih mengenakan helm menatap Kelana begitu saja. Seketika, keberanian dan keangkuhan yang berangkat bersamanya hilang. Ia mengeluarkan isi tasnya, merogoh beberapa lembar uang.
“Ini, ambil saja. Butuh berapa banyak?” Kelana tergopoh-gopoh. Orang itu lantas tertawa. Betapa leganya Kelana mendengar suara tawa itu. Suara tawa yang khas dari orang khas yang baru saja dikenalnya kemarin.
Kelana mencoba tenang setelah beberapa detik yang lalu jantungnya berdetak begitu cepat seperti akan copot dari dadanya. Bulir-bulir keringat mencuat di kulit wajahnya, suara napasnya terdengar berat dan nyaring. Taju mendekat dengan sisa tawanya, duduk di sebelah Kelana lalu menepuk bahunya. Kelana bangkit dengan susah payah. Ia takut dan sebal dalam waktu yang bersamaan.
“Ayolah, Kelana! Jangan seperti anak kecil. Ini bagus untuk memacu adrenalinmu.”
“Saya bisa saja mati, Taju.”
“Semua orang juga pasti mati. Jangan takut mati! Tidak ada yang menunggu di Utara, kan? Tidak ada yang menghalangimu ke sana. Begitu, kan? Di mana keberanianmu? Hilang dalam waktu....” Taju melihat jam tangannya, “Dua jam?”
Saat itu segala sesuatu terasa kembali kepada dirinya. Kelana menemukan dirinya yang semakin jelas tidak tahu apa-apa. Ia mengira kepergiannya untuk hidup menyendiri, bertahan hingga sejauh ini adalah bukti kekuatannya. Kehadiran Taju adalah bukti ia begitu kuat menolak kelemahannya. Begitu berupaya terlihat tahu segalanya. Seperti bola bekel yang dilemparkan ke dinding dalam ruangan tertutup. Ia tak akan ke mana-mana kecuali memantul dan mungkin saja kembali ke tangan pelemparnya.
“Bukannya tadi pagi kau menolak habis-habisan? Kau tadinya takut ke sini. Di mana rasa takutmu tadi? Tiba-tiba berani atau mungkin semua ceritamu cuma omong kosong?” Keberanianmu muncul dalam waktu......” Kelana melihat jam di ponselnya., “Dua jam lewat dua menit.”
Keduanya saling menertawakan. Perjalanan maut yang dijalaninya sepertinya diawali dengan sebuah keakraban.
“Eh, kenapa tidak pake jam tangan? Dari kemarin, setiap mau lihat jam harus buka ponsel dulu.”
“Setiap kali pakai jam tangan, rasanya ada beban di pergelangan tangan. “
“Masa, sih? Aneh!”
“Iya. Aneh. Kalau jamnya di tangan kanan, tangan kanan terasa berat sebelah. Kalau di kiri, yang berat sebelah tangan kiri. Saya merasa kurang nyaman.”
“Setiap orang punya kebiasaan aneh. Aku tidak bisa tidur kalau tidak ada yang menutup mataku.”
“Hah? Kau tidak bisa tutup mata sendiri? Ototmu besar, tutup mata saja tidak bisa? Jadi semalam kau nelpon room service?” Taju tertawa. Ia berpura-pura menelepon seseorang dengan tangannya.
“Halo. Room service? Boleh minta tolong tutup mata saya?’Keduanya tertawa terbahak-bahak.
“Untung kita tidak sekamar. Itu akan jadi canggung dan aneh.”
“Hahaha. Tidak begitu. Jadi seperti ini.”
Taju merogoh sesuatu dari tasnya. Ia menutup matanya lalu kembali ditutupi dengan kacamata tidur bermotif panda. Melihat itu, Kelana semakin tidak bisa menahan tawanya. Ia memegangi perutnya lalu tersungkur di tanah. Keduanya memecah keheningan di hutan lebat di wilayah Timur yang katanya angker.
Kelana dan Taju melanjutkan perjalanan melewati kawasan hutan lebat yang cukup luas dan panjang. Selama dua jam berkendara, mereka berasil keluar hutan dan menemukan pemukiman penduduk. Taju yang berada di depan melambat, Kelana mendekat.