Setelah kedatangan karyawannya, Mentari seperti disadarkan oleh kenyataan. Dia tidak boleh terlalut dalam kesedihan. Tanggung jawabnya masih banyak. Ada kedua buah hatinya yang masa depannya bergantung padanya. Ada dua puluh karyawan yang anak dan istrinya menjadi kewajibannya. Mentari meraup wajahnya dengan kasar.
" Ya Allah, saya harus bagaimana?" desahnya sambil menahan butiran air matanya yang terasa ingin jatuh.
Di ambilnya air wudhu, perlahan dia basuh wajahnya dengan air dingin yang menyejukan itu. Segera di bentangkannya sajadah, menghadap ilahi adalah pilihannya pertama kali. Hanya padaNya lah dia mengadukan segala gundah, duka dan nestapa yang sedang mengelayuti jiwanya. Selesai dengan doanya di pandanginya dua buah hatinya yang sedang tertidur pulas di ranjang besar kamarnya. Keputusannya untuk menata kembali hidupnya semakin kuat. Anak-anaknya membutuhkannya, membutuhkan Ibu yang kuat yang mampu menjadi sandaran mereka. Hari ini menjadi titik balik baginya. Dia sadar, meskipun menaggis meraung-raung Allah tidak akan pernah menghidupkan lagi Saif suaminya.
Bangkit dari keterpurukan menjadi pilihannya untuk melangkah kedepan selanjutnya. Ponsel nya yang ada di atas nakas diambilnya. Dia harus mengus hal-hal yang terabaikan semenjak kematian Saif. Ibunya yang memperhatikan merasa bersyukur, ternyata setelah kedatang anak buahnya sang putri terlihat mulai berubah.