Bagaimana jika suatu pagi kamu terbangun dan mendapati bahwa hidupmu berubah drastis? Ketika tak lagi kau dapati pelukan hangat yang menemani malam-malam sepimu? Saat tak ada lagi wajah yang menatapmu dengan pandangan memuja. Berat! Mengetahui bahwa separuh jiwa mu pergi dan tak akan pernah kembali. Itulah yang sedang aku alami. Perpisahan karena kematian.
Suami yang begitu mencintaiku meninggalkanku dengan dua balita yang menjadi tanggung jawabku penuh. Kehilangan? Sudah pasti. Jangan tanya bagaimana rasanya. Terbayang akan beratnya hari-hari yang akan aku lewati bersama mereka. Entah bagaimana nanti jika mereka menanyakan Ayahnya padaku.
Alarm di ponselku berbunyi nyari, menandakan sekarang sudah jam 4 dini hari. Dengan mata masih terpejam aku meraba-raba mencarinya dan segera mematikannya. Sudah dua bulan berlalu, rasanya aneh. Biasanya dia yang akan membangunkan aku dan segera menyuruhku mengambil air wudhu. Sekarang. Aku harus melakukannya sendiri, bahkan alarm yang harus membantu membangunkanku.
Bergegas aku melangkah ke kamar mandi. Kukerjakan semua dengan cepat, dinginnya air yang menampar wajah segera membuat mataku membuka lebar. Selesai melaksanakan kewajibanku, aku berjalan ke dapur. Membuka kulkas dan melihat isinya. Kulihat satu pak kopi instan yang masih utuh. Ah, buru-buru ku tutup kembali kulkas sebelum air mataku mengenang.
"Kamu lapar nduk?" terdengar suara ibu memasuki dapur. Di tatapnya wajahku yang binggung di depan kompor. Aku hanya menganguk mencoba menghilangkan kecurigaannya padaku.