Sebuah Asumsi soal kebahagiaan
Jika ada seorang gadis berkata kepada ayah atau ibunya bahwa ia memiliki kekasih atau pasangan, umumnya orang tuanya akan bertanya; “Dia bekerja dimana atau bekerja apa?” atau pertanyaan lain yang memiliki muara jawaban yang sama. Atau barangkali jika diterjemahkan, bahwa jatuh cinta tidak ada yang melarang tapi bagi mereka yang me-materialisasi-kan cinta akan mengatakan; ‘dalam cinta harus ada nasib masa depan, sukses secara materi agar dapat hidup bahagia’.
Mungkin sebagian orang akan menggap pernyataan itu ideal. Namun yang menjadi masalah adalah, apa definisi kebahagiaan itu? Serta siapa saja yang boleh merasakan kebahagiaan tersebut? Lalu apa saja yang menjadi tolak ukur kebahagiaan tersebut? Ah, semua absurd, tidak masuk akal. Maka sebagian orang tua yang me-materialisasikan cinta akan mendefinisikan kebahagiaan sebagai ‘hidup yang mapan dan sukses secara materi’.
Dapatkan cinta dilihat dari sudut pandang kemapanan materi? Padahal sejatinya cinta tidak mengenal apa-apa. Cinta akan dapat melawan kekuasaan dan tidak lagi perduli dengan status. Cinta merupakan semangat keabadian yang tumbuh dan terus akan bertahan dari berbagai cobaan dan rintangan. Cinta adalah bentangan sejarah yang akan terus dikenang dari masa kemasa, sejak manusia ini ada di muka bumi.