Surat Untuk Faiz
Kini tiga purnama telah berlalu, Faiz sama sekali tidak pernah bisa lagi bertemu dengan Nabila. Kini jiwa Faiz seperti lautan kehilangan debur ombak yang memperindah hamparan biru nan luas. Sepi tidak ada gelombang yang selalu membasahi bibir pantai yang indah. Berkali-kali Faiz mencoba mencari tahu keberadaan dan keadaan Nabila lewat teman-teman dekatnya. Namun mereka memberikan jawaban yang tidak membuatnya tenang. Ia mengatakan bahwa Nabila tidak lagi boleh keluar rumah oleh orang tuanya. Ia harus tinggal dirumahnya yang besar dan luas, semua yang dilakukan harus atas izin ayahya.
Faiz terdiam sejenak, menafakuri diri. Ia sadar, keterpisahan ini adalah kemiskinan yang mejadi penyebabnya. Ia mengakui, bahwa ia memang laki-laki yang tidak berpunya, nyaris benar-benar miskin. Jika dibandingkan seorang pengusaha seperti ayah Nabila, sungguh tidak akan mungkin keluarga Faiz sanggup menyamai kekayaan yang dimiliki keluarga Nabila. Faiz-pun menyadari bahwa orang tua Nabila tidak ingin anak perempuannya menikah dengan orang seperti dirinya yang hanya bermodalkan ketulusan.
Sungguh terlalu berat bagi Faiz menanggung perpisahan, lemah terasa bak memikul ribuan kilo beban dipundaknya, atau mungkin ber ton-ton. Ia merasa tidak ada lagi penawar bagi dirinya kecuali sebuah perjumpaan dengan kekasih yang selama ini telah menjadi bagian dari hidupnya. Bagian dari kepingan hatinya. Bagian dari jiwanya.