Surat Cinta Untuk Nabila
Sementara, dirumah yang besar nan megah itu Nabila ingin membrontak, namun tidak kuasa, tidak berdaya. Tidak punya kekuatan. Dulu pipinya yang terlihat memerah bak semburat purnama, kini berubah menjadi kuning bak daun gugur terhempas angin, lapar dan kantuk telah sirna dalam dirinya. Matanya terus terjaga, memerah melawan kesedihan, menangung kepedihan. Nabila ingin sekali lepas dan pergi meninggalkan rumah yang selama ini telah membuatnya perih, yang telah membuatnya menahan sedih.
Faiz telah menabur cinta di taman hati Nabila, mereka bersama-sama menyiram dengan air mata; namun bukan kupu-kupu yang hinggap tapi ulat tua jahat yang mengerogoti putik bunga cinta yang baru mekar dan menghabiskan daun-daun asmara mereka berdua. Selama itu pula Faiz selalu berusaha untuk dapat bertemu dengan Nabila agar bisa mengetahui keadaan Nabila yang sebenarnya, kalaupun ia dalam keadaan sedih Faiz ingin menghiburnya, menenangkannya, mendekapnya erat. Namun selama itu pula Faiz tak pernah dapat menjumpai Nabila.
Sesekali Nabila di izinkan keluar dari istananya yang dihuni raja paling jahat yang tawanannya adalah putrinya sendiri dengan terus dikawal dua laki-laki suruhan ayahnya agar tidak dapat berjumpa dengan Faiz. Dengan mengunakan kendaraan dan supir pribadi ayahnya, Nabila pergi ke tugu pandang dimana mereka berdua pernah berbincang menghabiskan siang sambil menikmati sejuknya udara bukit hijau nan cantik itu, tempat yang menjadi saksi atas cinta mereka berdua. Nabila hanya diam, melamun. Menghabiskan waktu berjam-jam tanpa berbicara apapun. Duduk dikursi yang sama, yang dulu sama-sama diduduki mereka berdua. Ia mengenang kebersamaan dengan Faiz, kata-kata cintanya masih terdengar jelas.
Sementara Dilain waktu; Faizpun mendatangi tempat dimana Nabila menghabiskan waktu bebasnya, dimana Faiz pernah menyatakan cinta yang disaksikan gemeretak ranting pinus kering yang jatuh tertiup angin dan disaksikan burung basa-basi bernyayi. Tapi hari itu Nabila tidak ada disana. Faiz seorang diri berkawan angin. Hanya serpihan rindu yang semakin menghujam jantung hatinya.
Duka cinta ini kembali membinasakan seluruh kekuatan Faiz. Kali ini Faiz tidak lagi dapat memikirkan apapun dalam dirinya; kosong, selain nasib cintanya. Faiz bersandar pada sebatang pinus, matanya sayu, lesu; tatapannya kosong, hanya ada bayang-bayang Tuhan yang Maha Pengasih; “Tuhan, andai saja aku dan Nabila tidak akan Engkau satukan. Mengapa Engkau menciptakan perasaan cinta di hati kami?”. Batinnya coba membrontak pada kenyataan-kenyataan yang diluar kesanggupannya untuk menerima.
Dua minggu telah berlalu semenjak Faiz membaca surat cinta dari Nabila. Nabila belum juga menjumpai Faiz atau sekedar melarikan diri dari cengkraman ayahnya untuk menjumpai Faiz. Handphonenya benar-benar tidak dapat lagi dihubungi, tidak dapat berkomunikasi. Kini tidak ada yang dapat Faiz lakukan selain berdoa, menyampaikan permohonan agar ia dapat berjumpa kembali dengan Nabila, sebagai seorang yang selama ini ia cintai, yang ia rindukan.