Menggenang Kebersamaan
Bagi Faiz, Nabila tetap menjadi rembulan yang akan terus menyinari setiap malamnya, namun sejak cahaya itu disembunyikan dari pandangan dan tersapu mendung, Faiz selalu hidup dalam kegelapan.
Sejak Faiz tidak dapat lagi menjumpai Nabila, ia selalu menghabiskan hari-harinya duduk ditempat dimana ia pernah menyandarkan harapan, menumpahkan cinta pada Nabila. Faiz selalu ingat kata cintanya, teringat kesetiannya, tapi kini Nabila kemana. Pergi ataukah menghilang, tak ada yang tahu. Faiz seolah tidak lagi merasakan indahnya kehidupan selain Nabila ada dekat disisinya. Faiz tidak dapat menangkap indahnya cahaya rembulan yang merangkak naik dari celah bebatuan dari bukit yang menghijau itu kecuali dari untaian senyum dari bibir Nabila. “Walaupun Nabila seorang yang kaya namun semua cinta ini, rasa ini tidak akan mungkin tergadaikan oleh gemerlap kehidupan duniawi. Dia adalah seorang perempuan yang lembut, tidak pernah berkata kasar, dia juga seorang perempuan yang sanggup menjaga harga dirinya. Sungguh dia adalah perempuan yang luar biasa di dalam jiwa ini”. Sejak Nabila ditawan oleh orang tuanya sendiri, walau di dalam terang Faiz seolah merasa tetap diselubungi kegelapan, hitam pekat berselimutkan duka lara. Meskipun dalam keramaiaan, Faiz merasa sunyi, sepi.
Faiz mengusap bangku yang pernah diduduki Nabila dengan penuh kelembutan, seolah mengusap wajahnya yang teduh bercahaya. Bangku yang menyimpan begitu banyak kenangan yang kini menjadi pelipurnya saat rindu benar-benar tak dapat lagi ia tahan. Di bangku itu pula lah ia dan Nabila biasa menghabiskan siang, menatap kabut yang merangkak menyelimuti lembah nan hijau. Bercengkrama, atau sekedar menikmati semilir angin. Kerudungnya bergoyang mengikuti gerak daun-daun pinus yang tertiup angin. Dan di bawah pohon yang daunya mulai menguning itulah mereka pernah bersama-sama berteduh di bawahnya saat rincis hujan membasahi baju mereka berdua. Hingga terkadang Faiz sangat merindukan rincis hujan itu yang sempat menahan mereka untuk terus bersama mendekap pohon pinus, berlindung dari dinginnya hujan dan terpaan angin. Seperti anak murai berlindung dibawah dekapan sayap ibunya saat hujan menganggu suara cicit mereka ketika sang induk mencari belalang dan ulat-ulat kecil diujung ranting yang mulai mengering.
“Inilah cinta dan rindu yang menyala-nyala, yang apinya nyaris padam tersiram kerakusan dan keegoisan. Akankah kebahagiaan yang selama ini aku harapkan terhempas oleh keegoisan yang kekuatannya melebihi badai topan. Kenapa orang tua Nabila melarang menjalin cinta denganku, apa memang karena kemiskinanku??”.
Faiz bergumam, memaki dan seolah menyesali diri yang tidak seberuntung Nabila yang bergelimang harta. “Andai saja aku orang kaya mungkin tidak seperti ini jadinya.” Ayahnya yang hanya seorang penjual kerupuk ubi dan ibu penjual gorengan membuat cinta yang ia jalani terlalu berat untuknya. Meski demikian, namun cintanya tidak terhingga; seperti kematian yang mendekap orang yang sekarat, meskipun didatangkan ribuan dokter, namun tidak akan mampu menahan ajal. Itu lah gambaran cinta Faiz pada Nabila yang tidak dapat tertolak oleh apapun dan siapapun.