Permintaan Nabila
Pukul sembilan pagi, Nabila bangkit dari tempat duduknya di teras depan rumahnya yang sejak tadi ia mengamati kinerja karyawan ayahnya itu. Ia berjalan cepat menuju kamarnya, melintasi guci-guci cantik, mengkilat yang tersusun rapi di ruang tamu yang luas dan dihiasi beraneka replika bunga nan indah yang tidak nampak kusam sedikitpun. Di kamarnya yang penuh warna merah muda, warna yang selama ini menemani kesedihannya, merekam seluruh isak tangisnya dalam menangung beban rindu. Tidak lama Ia kembali lagi keluar dengan amplop surat digenggamannya, berdiri di teras rumah, matanya melihat kekanan dan kekiri mencari-cari siapa saja karyawan ayahnya yang siap mengantarkan surat kepada Faiz. Tentu tidak ada satu orang karyawanpun yang berani menolak perintah putri tuannya itu, apa lagi uang ratusan ribu menjadi pelicin perintahnya. Nabila meminta untuk merahasiakan ini semua agar tidak ada yang tahu satu orangpun diseisi rumahnya. Tidak menunggu waktu lama, setelah Nabila memberi tahu alamat rumah kekasihnya itu, laki-laki yang menerima amanah putri tuannya itu segera melesat dari hadapan Nabila.
Diam-diam ia merencanakan sesuatu. Beberapa hari yang lalu ternyata ia sudah menuliskan surat permintaan yang ingin ia berikan kepada Faiz.
Pagi menjelang siang, saat Faiz sedang memperbaiki kursi bambu yang reot dan ditemani secangkir kopi panas. Seorang laki-laki berwajah polos, jujur dan penuh keihklasan datang menghampirinya, kali ini laki-laki yang membawakan surat padanya tidak lagi berseragam karyawan. Ia tampak gugup, cepat berjalan menuju ke arah Faiz. Setelah tepat di hadapannya, ia berkata;
“Mohon maaf Mas, ini ada titipan”.
“Titipan apa? Dari siapa? Tanya Faiz terkejut gugup.
“Nabila memintaku untuk menyampaikan surat kepadamu. Dan ia meminta agar mas Faiz segera melakukan sesuatu sesuai dengan permintaan yang ada dalam surat ini”. Ucapnya sambil megulurkan amplop coklat ke pada Faiz.
Faiz terkejut sambil menatap lelaki itu dan meraih amplop tersebut, Faiz menganguk walau sebenarnya tidak tahu apa sebenarnya yang dimaksut oleh sang pembawa aplop tersebut. Berlahan ia duduk sambil membuka amplop dengan penuh penasaran dan tanda tanya, hingga ia tidak lagi menyadari bahwa lelaki yang mengantarkan surat telah lenyap dari hadapannya. Ia baca kata demi kata, bait demi bait, ia fahami satu-persatu.
Setelah selesai membaca, Faiz tersenyum tipis seolah tidak percaya. Surat dari Nabila yang kedua itu seolah menyingkap tabir kegelapan yang selama ini menyelimuti hatinya. Nabila menuliskankan surat bahwa ia meminta Faiz untuk meminang pada jumat sore minggu depan, dan ia sudah siap dengan segala resiko yang akan terjadi walaupun harus mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan dari orang tuanya sendiri. Ternyata selama ini Nabila sudah menginginkan perjumpaan dengan Faiz, hanya saja ia tidak mampu melakukan itu. Nabila akan menunggu pinangan Faiz pada hari itu, sekaligus menunggu bukti apakah Faiz benar-benar mencintainya. Jika Faiz datang pada hari yang sudah diminta maka itu membuktikan bahwa Faiz benar-benar mencintainya, begitu juga sebaliknya.
Sementara Jantung Faiz berdekup hebat, darahnya mengalir deras setelah membaca surat dari Nabila. Tapi ia bingung apa yang harus ia sampaikan kepada kedua orang tuanya untuk mewujudkan permintaan Nabila itu.