Sang Martir Cinta

Deni Sutan Bahtiar
Chapter #22

#22 Hati Yang Hancur

Hati Yang Hancur

Jumat sore, hari yang diminta Nabila untuk menjadi hari sebagai saksi atas pinangan Faiz terhadapnya sempurna sudah. Dengan penuh keyakinan bahwa pinangannya akan diterima kedua orang tua Nabila, mereka bertiga berangkat menuju rumah Nabila. Tentu tidak dengan mobil mewah, tidak juga dengan pakaian mahal dan glamor. Tentu dengan pakaian ala kampung, sederhana.

Sesampainya di depan rumah Nabila yang luas itu. Mereka bertiga terdiam sejenak di depan pintu gerbang yang terkunci, memandang kesekelilingnya keheranan melihat rumah yang begitu besar dan terlihat mewah, sementara disisi kanan dan kiri tumbuh bunga-bunga angkrek yang berjajar indah berbagai jenis. Sementara Nabila memandangi mereka dengan senyum di bibirnya lewat gerai korden biru diruang tamu, sedangkan mereka tetap berdiri menunggu tuan rumah mempersilahkan masuk. Tidak lama kemudian Nabila keluar dengan mengenakan gaun yang belum pernah Faiz lihat sebelumnya, serasi dengan kulitnya yang putih, Nabila terlihat begitu cantik. Ia menghampiri mereka bertiga, membukakan pintu gerbang lalu menjabat tangan kedua orang tua Faiz, menciumi tangan ibunya. Menanyakan kabar.

Namun tiba-tiba;

“Siapa mereka Nabila?” suara ibunya yang berdiri tepat ditengah pintu, yang ternyata sedari tadi telah memperhatikan mereka bertiga.

Ibu Faiz terperangah sambil bertanya-tanya dalam hati; ‘kenapa ibu Nabila tidak mengenal kami, bahkan rencana kehadiran kami tidak diketahui ibunya. Apa Nabila tidak pernah bercerita pada orang tuanya tentang rencana ini?’

“Eeee yuk kita masuk Faiz, ajak ayah dan ibu masuk kedalam”.

Faiz hanya menganguk dan mengandeng tangan kedua orang tuanya dan megajaknya masuk ke dalam, sesuai dengan arahan Nabila.

“Ini Faiz, dan mereka berdua orang tuanya. Mereka tamu kita hari ini bu”. Nabila memperkenalkan mereka bertiga pada ibunya yang masih tetap berdiri di depan pintu.

“Mereka dari mana?”. Ibunya bertanya pada Nabila, walau sebenarnya ia tidak asing lagi mendengar nama Faiz.

“Mereka dari kampung sebelah bu”. Jawab Nabila pelan sambil tersenyum ramah.

“Oh ini yang pernah kamu ceritakan pada ibu tempo hari? Suruh mereka masuk”. Ibunya menyuruh sambil berlalu.

Tidak menunggu lama, mereka bertigapun masuk berlahan, mata mereka menelanjangi ruangan dan seluruh isinya dengan pandangan kagum. Mereka segera duduk dan membuang sikap ndeso-nya itu. Tapi mata ibu Faiz masih saja terus memandang seluruh isi ruang tamu itu yang dihiasi dengan guci-guci cantik; maklumlah, selama ini ibunya hanya bergelut dengan ubi dan minyak goreng serta memasak sambal teri kesukaan ayahnya. Nabila tersenyum melihat tatapan ibu Faiz yang kesana kemari. Faiz-pun cepat-cepat mencolek paha ibunya yang duduk tepat disampingnya lalu memberikan isyarat untuk berhenti memandangi isi rumah mewah itu.

“Kok diam saja”. Sapa Nabila yang membuyarkan pandangan ibu.

Lihat selengkapnya