Di Kamar Pengasingan
Sementara Nabila duduk seorang diri di kamar, menuliskan sesuatu sambil sesekali menyeka air matanya yang deras mengalir. Saat ia sedang khusyuk menulis, tiba-tiba penanya terlepas dari tangannya, jatuh mengelinding. Lalu ia segera bangkit, ketika ia sedang mencari pena yang terjatuh itu, mendadak ia terkejut melihat ayahnya telah berdiri di pintu kamar, dengan wajah terlihat tegang sedang memandanginya. Dengan langkah pasti, ayahnya menghampiri dan memegang bahunya seraya berkata.
“Maafkan ayah Nabila”. Ucap ayahnya pelan.
“Saya tidak mengerti, kenapa ayah melakukan itu. Kenapa ayah!!”. Tanya Nabila sambil menahan isak tangis dan memandangi wajah ayahnya.
“Karena ia tidak pantas menjadi suamimu Nabila”. Jawab ayahnya.
“Ketahuilah, bahwa saya telah menjadikannya sahabat sejak lama, dia memperlakukan saya dengan begitu baik, dan saya begitu nyaman bersamanya tapi ayah menganggap laki-laki itu tidak pantas menjadi suamiku”.
Nabila bersimpuh dihadapan ayahnya dan memegang kedua tangan ayahnya, memohon belas kasihan. Air matanya menetes deras dari bola matanya yang bening. Dan harapan-harapan mengalir dari lidahnya yang tulus. Tetapi semua itu seperti sia-sia, ia seolah seperti orang yang sedang mengharap air keluar dari batu cadas yang keras, atau mengharap pohon tumbuh subur diatas bebatuan. Ia berusaha melunakan hati ayahnya hingga habis seluruh cara, ia terkulai lemah dibawah kaki ayahnya. Dengan menahan nafas, ayahnya melepas gengaman Nabila lalu pergi dan membiarkan Nabila tersungkur, sambil berkata; “Sekarang kamu belum menyadari apa maskud ayah, tetapi esok kamu akan mengetahuinya”.