Pertemuan Sesaat
Sementara, Faiz seperti mulai beranjak pulih dari kelemahannya, mulai bisa menjinakkan hatinya yang liar. Tidak lain ibunyalah yang selama ini telah menjadi penguat jiwanya, penghibur hatinya. Namun meskipun demikian, perasaan cintanya pada Nabila tidak bisa terhapuskan barang sedikitpun, ia masih begitu mencintai. Dengan rasa cinta yang ada, ia masih saja ingin berjumpa dengan Nabila, dan ingin tahu apakah Nabila benar-benar sudah tidak lagi mencintainya dan melupakannya. Karena selama ini yang ia tahu bahwa Nabila masih saja mengengam kesetiaan yang pernah ia janjikan padanya dulu. Dan kini ia mendengar kabar bahwa Nabila sudah menikah dan sakit, tubuhnya kurus terbakar kesedihan.
Dan penyebab dari semua itu adalah keterpisahannya dengan Faiz dan menikah dengan laki-laki yang tidak ia cintai. Dari itulah pikirannya kembali berubah, keinginan akan sebuah perjumpaan telah membuatnya lupa akan keselamatan dirinya sendiri. Ia mulai tidak memperdulikan apapun yang akan terjadi pada dirinya sendiri.
Hingga suatu ketika Faiz memutuskan untuk melakukan perjalanan menuju rumah Nabila, ia menyadari bahwa tindakannya ini memang penuh dengan resiko yang akan berakibat pada persoalan besar.
Pagi buta Faiz bangun dari tidurnya dan segera mempersiapkan diri untuk perjalanan menuju rumah Nabila. Dari balik jendela yang menghadap ketimur, ia menerawang jauh keluar. Tampak mentari pagi menyingsing dan akan segera bertahta. Faiz mengusap matanya yang masih terlihat bekas-bekas kesedihan. Ia masih terus memandangi matahari yang merangkak naik, melangkah beberapa jejak ke ufuk barat yang diawali semburat cahaya kemerahan.
Kemudian ia memandang cakrawala dibelahan timur. Nampak arak-arakan awan terpencar dan cahaya berwarna merah membara memancar dipermukaan. Ia melihat pantulan cahaya matahari yang putih bercampur dengan tetesan-tetesan embun yang masih mengental di atas rerumputan di bawah jendela kamarnya, terlihat seperti permata dan berlian bersinar dan memantulkan berbagai warna indah dan menawan hati.
Faiz meraih tas gendongnya dan memasukan buku catatannya. Faiz akan segera pergi menemui Nabila dan ingin berbicara dengan kata-kata yang hadir dari hatinya dengan bebas. Rasa takut ataupun ragu telah hilang dari hatinya, seperti terseraknya daun-daun dari ranting pepohonan, keinginannya sudah tidak terkendali. Ia sedang melakukan perjalanan menuju rumah Nabila sambil terus berdoa pada Tuhan agar dapat mempertemukan dirinya dengan Nabila walau sesaat.
Dan saat Faiz mulai mendekati rumah Nabila, ia melihat matahari yang memancar di sekeliling rumah Nabila lebih cerah dari rumah-rumah yang lain.
Kini Faiz telah berada tepat di depan rumah Nabila, ia tidak memperdulikan apapun dan siapapun yang akan menghalangi perjumpaannya dengan Nabila, yang ia inginkan hanya bertemu dengan Nabila, menyembuhkan sakitnya, atau sekedarmenatapnya dari kejauhan. Dan dari pintu gerbang rumahnya, Faiz melihat Nabila duduk di teras rumahnya dengan wajah diselimuti kesedihan, ia sedang menatap bunga-bunga mekar yang basah karena siraman gerimis satu jam yang lalu. Faiz berdiri di depan pintu pagar yang terkunci, ia memperhatikan Nabila dalam-dalam yang seolah ia sedang mengadu degan semua yang ada disekelilingnya atas perasaan yang selama ini ia rasakan. Dan hati Faiz-pun berkata, “Nabila, aku bagaikan musafir yang kehausan, kamu telah menuntunku ke anak sungai yang airnya begitu jernih, tapi saat aku akan meraih segarnya air dan sebelum aku meminum airnya kamu telah menariku kembali kehamparan terik matahari yang membuat tubuhku melemah. Dan seolah kamu membawakanku buah segar dan madu yang begitu menyegarkan dalam teriknya matahari, namun kamu tidak pernah mempersilahkan aku untuk menikmatinya. Kenapa, jika kamu tidak pernah menginginkan kebersamaan, kamu mengatakan mencintaiku?”