Pergi, Sebuah Upaya Melupakan
Faiz sudah berada di rumahnya, ia merasa senang dapat melihat Nabila walau dengan pemandangan yang menyedihkan dan sesaat. Dengan melihat keadaan yang tidak berpihak padanya, ia ingin segera pergi dan belajar melupakan, melupakan semuanya. Sebelum ia pergi, ia menuliskan sesuatu untuk Nabila walaupun pada akhirnya nanti tidak dapat terbaca olehnya. Ia memulai tulisannya;
Nabila, dengan melihat kenyataan ini, aku ingin pergi dari tempat ini tempat dimana aku pernah dilahirkan, dibesarkan, tumbuh dewasa dan akhirnya mengenalmu. Aku pergi untuk belajar melupakan kenangan, berusaha mengubur mimpi. Karena jika aku tetap berada disini aku takut rasa cintaku akan menjadi penghalang bagi keluargamu, sementara aku sama sekali tidak bisa membuang rasa cintaku padamu.
Saat aku tuliskan semua ini dengan hati terpaut namamu Nabila. Dengan tubuh yang terselubung pakaian kesedihan, wajah yang penuh kerinduan, hati yang tersia-sia dan penuh kecewa. Kepadamu aku lantunkan nyanyian seribu luka yang amat menyiksa. Hati yang telah terluka tidak akan ada obat penyembuhnya kecuali bersatu walau hanya sedetik. Agar kamu mengerti betapa hati ini tulus dan ikhlas mencintaimu.
Nabila, seharusnya jika kamu memiliki belas kasih sebagai seorang ibu, berikanlah kata-katamu agar kamu dapat menunjukkan padaku belas kasihmu atau mendatangkan kedamaian pada hatiku. Aku ingin keberuntungan berpihak padaku serta mendapatkan kebaikan setelah luka ini. Tidakkah kamu ingin menanyakan tulisanku apa yang telah ditulis tanganku? huruf-hurufnya menyiratkan cinta dan luka. Tanganku terus menulis namun mataku terus meneteskan air mata dan kertas ini menggambarkan resah dan betapa sakitnya aku. Kamu sang rembulan telah menghancurkan jiwaku, dan aku hanya memandangi bintang-bintang mati yang tidak memberikan apa-apa selain derita rindu berkepanjangan.
Nabila, aku sadar, bahwa kamu mungkin seorang perempuan yang terlahir dari tradisi hidup yang mewah, rumah yang megah. Sedangkan aku hanya seorang miskin yang hanya sanggup berada diantara deretan dinding papan rumah sehingga kamu memutuskan untuk akhiri kisah ini. Tapi kenapa kamu tidak mengatakan sejak dulu jika kamu masih memandang kemuliaan harta dan derajat sebagai sebuah kebahagiaan. Dan kenapa juga kamu mau menjalin cinta dengan laki-laki sepertiku. Aku merasa seperti kolam yang memiliki air keruh yang tidak mugkin ikan yang indah dan cantik sepertimu hidup di dalamnya.