Selamat Tinggal
Kini malam kembali menjelang. Binatang-binatang peliharaan telah kembali ke kandang mereka masing-masing, burung-burung telah kembali pulang kesarang mereka masing-masing dan tidak ada lagi terdengar mereka bernyanyi. Dan dimalam yang dingin saat hujan gerimis membasahi tanah, menyuburkan tanaman, menumbuhkan bunga-bunga. Nabila duduk ditempat tidurnya, saat ia sedang meratapi kepedihannya sambil bertopang kedua lututnya, tiba-tiba Azmi membuka pintu kamarnya dengan sangat kuat, matanya terlihat garang seperti singa yang hendak menerkam sekawanan kijang. Ternyata ia mengatahui kedatangan Faiz siang tadi dan ia juga mendengar pembicaraan mereka berdua dari balik tembok rumah. Ia menatap Nabila dengan penuh amarah, sementara Nabila tidak bergerak sedikitpun dari posisi semula, ia hanya melirik kearah laki-laki yang kini seperti hendak meluapkan seluruh amarahnya.
“Nabila, ternyata selama ini kamu telah menyembunyikan laki-laki lain dariku. Inikah yang telah menyebabkan kamu tidak pernah mau denganku”. Azmi meluapkan amarahnya.
“Maafkan aku Azmi, selama kita menikah aku masih mencintai seorang laki-laki”. Nabila menjawab dengan lirih sembari menyeka air matanya yang meleleh. Sementara Azmi masih meneruskan amarahnya sambil memegang bahu Nabila kuat-kuat;
“Kenapa tidak kamu katakan sejak dulu kalau kamu masih mencintai laki-laki lain, kenapa!?”
“Aku sudah mengatakan kepada orang tuaku sejak dulu, tapi kedua orang tuaku tetap memaksaku untuk menikah denganmu. Sementara aku sama sekali tidak mencintaimu”. Jawabnya sambil terus menangis.
Azmi menghela nafas;
“Aku sakit Nabila, sakit. Kenapa kamu tidak jujur sejak awal”. Nadanya mulai melemah.
“Maafkan aku Azmi, aku benar-benar minta maaf”. Nabila memohon.