Perjalanan
Di atas aspal jalan lintas utara, mobil travel yang ditumpangi Faiz melaju kencang. Ia harus menempuh perjalanan tiga jam untuk sampai ke kota Tegal, kota yang menjadi tujuan Faiz untuk menghabiskan sisa-sisa cintanya terhadap Nabila. Dua tahun belakangan ini Faiz tidak pernah lagi megunjungi sahabatnya itu, banyak perubahan yang terjadi di kota kecil yang ia singgahi. Ia nyaris tidak mengenali lagi wajah kota yang akan ia tingali beberapa minggu bahkan beberapa bulan kedepan. Namun selama perjalanannya bayangan Nabila selalu menghantui pikirannya. Terlalu berat bagi Faiz untuk membuang semua perasaan cinta dan sayangnya pada Nabila. Disisi lain ia sadar bahwa Nabila telah menikah, telah menjadi milik orang lain, dan tidak ada cara lain selain harus berupaya membuang dan melupakan seluruh cintanya untuk Nabila. Dalam perjalanannya itu pula ia merasa tidak pantas lagi untuk mencintai dan menyayangi Nabila. Kini ia merasa harus menyanyangi dirinya sendiri dan menyembuhkan segala kepedihan yang selama ini mendera hatinya. Kenangan saat-saat kebersamaannya dengan Nabila akan menjadi pelipurnya. Namun ia sendiri-pun tidak yakin bahwa ia benar-benar sanggup membuang seluruh perasaannya itu. Karena bagaimanapun Nabila adalah perempuan pertama yang telah sanggup menaklukkan hatinya.
Bagi Faiz, Nabila adalah mata dan cahaya keindahan hatinya. Cinta kepadanya telah menyalakan api dalam hati yang telah membakar. Namun orang tuanya telah mengoyak hatinya dengan sangat kejam, namun mereka tidak sadar dengan kekejamannya itu. Hatinya sempat merintih; ‘Andai saja aku tidak mengenali Nabila saat itu dan membuat perasaan cinta di hati ini, tentu aku tidak harus bersusah payah untuk melupakannya, sesusah dan sepayah ini’. Hasrat hatinya seolah telah tersiksa. Namun ia juga cukup menyadari bahwa ia seorang laki-laki yang tidak sempurna dan tidak akan pernah sempurna, dan ia merasa tidak akan berguna dalam hidup Nabila nantinya, terlebih orang tuanya.
Entah kenapa, ia kembali teringat saat orang tua Nabila menolak seluruh ketulusannya. Faiz telah berusaha menyembunyikan semuanya, namun kesedihan itu tidak sanggup membohongi hati dan jiwanya yang hancur. Ia merasa cintanya Nabila kepadanya telah pergi dan meninggalkan tubuh yang lemah dan kecewa. Perasaan cinta Faiz begitu kuat sejak ia mengenal Nabila, ia merasa begitu sangat membutuhkannya tapi apalah daya, cinta yang Faiz haturkan pada Nabila telah ditolak oleh orang tuanya dengan cara yang halus, seperti suntikan bisa ular, meski gigitannya tidak terlalu sakit namun racun itu sangat membunuh.
Faiz merasa hanya dialah lelaki yang paling menderita kerinduan dalam cinta saat ini, jiwanya telah menjadi tawanan hasrat dan keinginannya sendiri. Dimalam hari matanya jarang sekali terlelap, sementara disiang hari matanya tersia-sia karena cinta yang penuh luka dan kecewa. Ia selalu gelisah, api cintanya terus berkobar dan bara rindunya terus menyala. Baginya, Nabila bak rembulan yang kini telah menghancurkan jiwanya, dan ia seolah hanya sanggup memandangi bintang-bintang mati yang tidak memberikan apa-apa selain derita rindu berkepanjangan. Faiz berharap purnama yang singgah dalam hidupnya, namun gerhana yang hadir menyapa.
Ia menyadari bahwa Nabila seorang perempuan yang terlahir dari tradisi hidup yang mewah, sedangkan ia hanya seorang kumuh yang hanya sanggup berharap sehingga orang tua Nabila memutuskan untuk menolak pinangannya dan mengakhiri dengan paksa kisah cintanya. Memang Nabila pernah menyampaikan bahwa orang tuanya masih memandang kemuliaan harta dan derajat sebagai sebuah kebahagiaan. Dan Faiz diumpamakan seperti kolam yang memiliki air keruh yang tidak mugkin ikan yang indah dan cantik seperti Nabila hidup di dalamnya.
Jauh sebelum Nabila dinikahi oleh Azmi, Faiz masih berharap Nabila masih mengingatnya sebagai seorang laki-laki yang telah mencintainya dengan setulus hati. Walau pada akhirnya Faiz hanya sebagai seorang laki-laki yang telah dimainkan tanpa dimenangkan dengan penyatuan. Dan setelah Nabila menikah, Faiz-pun berharap Nabila masih mengingatnya sebagai seorang laki-laki yang telah dihancurkan hatinya dan terkapar kemudian ditinggalkan.
Sebelum Faiz benar-benar pergi, ia sangat ingin sekali berjumpa dengan Nabila dan menyampaikan permohonan maaf;
“Nabila, maafkan aku, walaupun kamu telah meningalkan rumah yang dibangun di dalam hatiku dan kamu telah melakukan perjalanan bagi kehidupanmu yang baru dan tidak mungkin aku susul, tapi aku sendiri tidak akan pernah membencimu. Tapi sayangnya keluargamu telah menilai bahwa kehadiranku disisimu akan memberikan kesengsaraan bagimu. Sebenarnya bagiku kamu adalah orang yang paling mulia dalam jiwaku sejak itu, kini dan yang akan datang. Namun aku minta maaf jika karena aku kamu menjadi celaan orang banyak bahkan orang tuamu sendiri. Aku tahu kamu tidak pernah bersalah dalam hal ini dan kamu adalah orang yang shaleha. Cinta yang telah mempertemukan kita, semua itu adalah diluar dugaan kita sebelumnya. Nabila, kamu telah menjadi teman tersayangku sejak kita bertemu kali pertama. Sungguh tiada hukuman yang begitu berat seberat penderitaan ini, penderitaan karena terpisah dari orang yang aku dicintai”.
Faiz mencoba bangkit dari lamunannya, jendela mobil sedikit ia buka agar ia dapat menikmati angin jalanan dan berharap seluruh lamunannya terbang bersama angin. Matanya menembus cakrawala, memandangi persawahan yang hijau, kepalanya masih ia sandarkan dikursi mobil. Ia mencoba meluruskan kakinya yang terasa kesemutan, ia mengoyang-goyangkan pantatnya yang mulai terasa panas karena telah dua jam lebih ia melakukan perjalanan tanpa berhenti. Ia mulai tidak sabar lagi untuk cepat-cepat sampai ketempat tujuannya.