Pulang Dengan Kesedihan
Nabila telah kembali kerumahnya dengan membawa kecewa dan kesedihan, namun ia masih menyimpan harapan bahwa kelak pasti akan bertemu lagi dengan Faiz, laki-laki yang masih ia cintai, yang selalu ia harapkan. Matanya masih tersirat kepedihan, hatinya masih kecewa, jiwanya begitu merana. Dengan penuh tangis Nabila menjatuhkan tubuhnya dihadapan ibunya, menciumi kakinya, ia benar-benar merendah dan memasrahkan diri agar ibunya dapat memaafkan dirinya bahwa ia tidak bisa mencintai Azmi bahkan tidak akan pernah bisa. Sementara ibunya memandangi putrinya yang sedang tersungkur dibawah kakinya dengan tangis dan air mata. Ibunya sudah mengetahui semua yang terjadi dengan pernikahan putrinya, dan ia menyadari bahwa jalinan rumah tangga yang tidak didasari dengan perasaan saling mencintai hanya akan berbuah sia-sia serta hanya akan membuat kepedihan satu sama lain.
Nabila mengharap bahwa restunya untuk mencintai Faiz tulus agar Tuhan memberikan kemudahan dalam urusan cintanya. Nabila juga mengungkapkan semua isi hatinya, bahwa ia sungguh-sungguh mencintai Faiz dan berharap bisa hidup bersamanya.
Waktu terus berlalu, namun beban penderitaan cinta yang ditanggung Nabila tidak kunjung berkurang. Ia benar-benar menjadi seperti orang asing bagi dirinya sendiri, rumah yang mewah itu seakan-akan menjadi penjara baginya. Hasratnya untuk menjalin rumah tangga seperti melemah sudah, setelah ia kehilangan orang yang selama ini ia cintai dan tidak tahu kemana perginya. Ketika rembulan berada tepat di atas kamarnya, jiwanya menyelinap dan keluar melalui sorot cahaya rembulan dan terbang jauh menjemput pujaan hatinya yang berada entah dimana.
Nabila memeluk bantal dan hatinya berkata lirih; “Kenapa aku menderita ketidakbahagiaan seperti ini, dan kepedihan yang sangat. Sekarang orang yang aku cintai telah meninggalkan aku dan tanpa meninggalkan ucapan selamat tinggal sedikitpun. Kenapa aku tidak bersamanya ketika ia pergi. Aku kecewa dengan diriku sendiri, kenapa dulu tidak menahannya pergi dan membiarkan ia cepat berlalu”.
Nabila menduga, mungkin Faiz tidak terlalu kecewa dengan penolakan orang tuanya, tapi barang kali Faiz benar-benar merasa sakit hati karena Nabila telah menerima pinangan laki-laki lain dan rela dinikahi. Namun Faiz tidak tahu bahwa Azmi dalam beberapa bulan selalu menuruti permintaan Nabila untuk tidak mendekati dan menyentuhnya, sebelum akhirnya ia pergi meninggalkan Nabila untuk selamanya setelah ia tahu bahwa Nabila sama sekali tidak mencintainya.
Malam semakin larut, Nabila masih terjaga, matanya tidak tergambar rasa kantuk sedikitpun; sedang ia tidak pernah melewatkan malam-malamnya untuk terus mendekatkan diri pada Tuhan dan memanjatkan doa agar ia dapat berjumpa lagi dengan laki-laki yang sangat ia cintai dan merajut kembali benang-benang cinta yang telah lama kusut. Namun ia tidak tahu harus mencari kemana laki-laki yang ia cintai untuk menyembuhkan segala kepedihan dan kesedihannya itu.
Dari balik jendela ia menatap bintang-gemintang, ia mengingat kebahagiaan, keceriaan saat masih bersama-sama Faiz; bercerita tentang kebahagiaan, tentang kesetiaan dibawah reruntuhan daun-daun pinus yang gugur tertiup angin, di taman di tengah hamparan bunga yang berwarna warni. Nabila masih mengingat semuanya. Ketika semuanya hadir dalam ingatannya, air matanya membanjiri pipinya yang merona. Ia merasa sangat kehilangan, namun ia tidak tahu dengan cara apa ia dapat mengetahui keadaan Faiz.