Kedatangan Nabila
Disisi lain, kondisi Nabila masih lemah, makin melemah, ia masih menahan sakit yang tidak dapat disembuhkan oleh seorang dokter selain kebersamaan. Ia masih belum sanggup menjauhkan kesedihannya. Berkali-kali ia tersadar bahwa Faiz tidak lagi ada dirumahnya. Sempat ia menanyakan pada ibunya namun ia tidak tahu kemana Faiz pergi. Ibunya hanya mengatakan bahwa Faiz pergi ke rumah sahabatnya di Tegal, namun tidak tahu persis dimana tempatnya.
Faiz dan Nabila masih sama-sama berharap, masih sama-sama mencintai, namun mereka sama sekali tidak tahu perasaan yang sebenarnya satu sama lain. Faiz sendiri tidak tahu harus bagaimana dan dengan cara apa untuk mendapatkan Nabila kembali, sementara yang masih ada di dalam ingatannya adalah; bahwa Nabila telah milik orang lain, telah menjadi istri dari seorang laki-laki yang juga kaya raya. Sementara Nabila telah mengubur dalam-dalam laki-laki yang pernah menjadi suaminya itu, dan berusaha meraih kembali cintanya pada seorang Faiz.
Malam, Nabila menatap bintang-gemintang dilangit cerah, memancarkan cahaya, menambah keindahan malam. Pikirannya terbang melayang seperti kupu-kupu yang mengitari sekuntum bunga, sementara madunya tidak lagi manis untuk dihisap.
Kini, seorang gadis yang dulu bermuka manis, senyum kembang yang indah, seolah telah menjadi seperti mayat hidup, wajahnya pucat, tubuhnya kurus, rambutnya lusuh. Ia benar-benar tampak lebih kurus, terlihat semakin lemah, dan lebih banyak berdiam diri rumah. Ia sering menangis jika mengingat masa lalunya yang harus menikah dengan laki-laki yang tidak ia cintai yang pada akhirnya ia harus kehilangan laki-laki pujaan hatinya. Nabila merasa dunianya dipenuhi dengan kesengsaraan, berhari-hari, berbulan-bulan ia membawa rasa sakit yang menyayat nyayat dan luka di hati yang teramat dalam. Ia tidak dapat lagi melakukan apa-apa selain berdiam diri untuk berdoa dan meratap. Bayang-bayang kehidupannya saat masih ada di dekat Faiz kembali hadir dipelupuk mata. Namun ia juga tersadar bahwa ia telah berpisah dengan Faiz. Faiz telah berada jauh entah dimana, seperti tangan yang hendak meraih rembulan, jauh. Sementara Hasrat terus mengebu. Nabila masih saja mengenang masa-masa yang indah penuh bahagia, masa-masa saat masih bersama. Tidak terasa air matanya kembali menetes. Lalu ia beranjak menuju lemari pakaian, mengeluarkan selembar kertas surat yang pernah ditulis Faiz untuknya. Ia baca ulang, lalu mendekapnya di dada. Sesaat Nabila merasakan kedamaian saat mendekap surat itu, surat dari sang kekasih pujaan, dambaan jiwanya.
Nabila masih terus saja merasakan luka mendalam atas kehidupan yang dijalani. Kini tubuhnya semakin mengering, yang tersisa hanya lah tulang berbalut kulit. Wajahnya pucat pasi. Senyum manisnya tidak lagi teruntai, bahkan sorot mata yang biasanya tajam kini mulai layu. Segala kesedihan dan kepedihan menumpuk menjadi satu.
Dengan semangat dan tenaga yang masih tersisa, Nabila beranjak menuju meja dan menuliskan kata-kata untuk Faiz;
“Faiz, selama ini aku masih terus berharap bahwa kamu akan datang dan menemui aku. Ketahuilah bahwa kini aku sedang menanggung sakit yang tidak dapat disembuhkan oleh seorang dokter. Aku ingin sekali melihat wajahmu sebelum malaikat datang dan membawa pergi nyawaku. Aku ingin mencurahkan segala isi hati dan memohon maaf atas dosa-dosa yang pernah aku perbuat terhadapmu. Aku berharap kamu bisa memaafkan aku disaat-saat terakhirku. Faiz, cinta dan ketulusan merupakan awal cinta kita berdua dan akhirnya kita menyatu, sebelum akhirnya kita terpisah. Aku memang sudah menikah, namun sejak malam pertama hingga malam terakhirku, aku tidak pernah disentuh ataupun menyentuh suamiku, dan kini kami sudah berpisah dan tidak akan pernah bersama lagi. Aku tahu, bahwa kamu menganggapku memiliki cinta yang palsu dan tidak bisa kamu percayai. Tapi ketahuilah bahwa kini aku sedang berada di pintu kematian, jika kamu tidak bisa menjumpaiku maka mulai hari ini dan selamanya mungkin kita tidak akan dapat berjumpa lagi”.
Catatan itu ia akhiri dan menutup buku hariannya, ia menyimpannya dengan sangat rapi dan berharap suatu ketika catatan itu akan dapat dibaca oleh Faiz.
Matahari pagi telah menghangatkan bumi, Nabila memanggil salah satu karyawan Ayahnya yang biasa membantu dan mengantarkan surat kepada Faiz. Nabila meminta mengantarkan surat terakhirnya kepada Faiz, namun saat ia bertanya dimana Faiz agar bisa ia temui, Nabila tidak mengerti, Nabila tidak dapat menjelaskan. Nabila menyuruhnya untuk datang kerumah Faiz dan menanyakan kepada orang tuanya, dimana sebenarnya Faiz berada.
Tidak menungu lama, laki-laki itu segera berangkat menuju rumah Faiz. Mengetahui kedatangan laki-laki suruhan Nabila, ibu Faiz segera mempersilahkannya untuk masuk dan menanyakan keperluannya. Laki-laki itu segera menjelaskan keperluannya, menyampaikan maksut dan tujuannya.
Ibu Faiz terdiam, bingung apa yang harus dilakukan. Ibunya masih belum ingin memberi tahu dimana Faiz berada, walau sebenarnya ia sudah mengetahui dimana Faiz berada. Namun laki-laki suruhan Nabila memaksa, memelas, ia sangat memohon agar diberi tahu dimana Faiz berada. Ia menceritakan kepada ibu Faiz tentang kondisi Nabila. Ibunya pun larut dalam kepiluan. Mendengar berita keadaan Nabila, tidak ada pilihan lain selain memberi tahu dimana Faiz berada. Setelah memberikan surat dan mendengar penjelasan dari ibu Faiz, laki-laki itu-pun segera undur diri dan pergi kembali menemui nabila. Laki-laki itu merasa harus ikut membantu menemukan Faiz, menyampaikan semua keadaan Nabila untuknya. Laki-laki itu ingin putri tuannya dalam keadaan baik-baik saja dan membantunya dengan sebaik baiknya, ia tidak ingin putri tuannya larut dalam kecewa dan menambah deritanya semakin berkepanjangan. Tanpa berfikir panjang ia pun segera kembali menemui Nabila dan menceritakan apa yang sudah ia dapatkan dari ibu Faiz.
Laki-laki itu menceritakan dari awal sampai akhir apa yang sudah diceritakan oleh ibu Faiz. Dengan pemberitaan itu Nabila seolah mendapat kekuatan baru, semangat baru. Tanpa berfikir panjang, Ia segera menyiapkan diri dan mencari kendaraan yang mengarah ke Tegal, ia berjalan dengan cepat, khawatir kalau-kalau terlalu sore sehingga tidak dapat lagi menemukan bus yang mengarah kesana. Ia beruntung, masih ada satu bus yang segera meninggalkan terminal. Hampir saja ia tertingal jika saja ia berjalan tidak terlalu cepat. Ia memilih untuk tidak memakai mobilnya untuk bisa menemukan Faiz, karena ia merasa tidak begitu hafal dengan daerah yang akan dituju.
Tanpa berfikir panjang ia langsung masuk dan duduk di bangku tengah bernomor 16. Ia terdiam dikursinya, sesekali memeriksa uang di dalam dompetnya. Ia tidak tahu berapa lama harus sampai ke Tegal, tempat tujuannya. Sementara wajah kekasihnya kembali membayang di dalam angannya, ia merasa begitu rindu. Ia bertekad, apapun yang terjadi ia harus bisa menjumpai Faiz dan menyampaikan seluruh perasannya yang selama ini.
“Mau kemana mbak?”. Ibu yang duduk disebelahnya bertanya.
“Saya mau ke Tegal bu”. Jawabnya singkat sambil tersenyum tipis.
“Mau menjenguk saudara?”. Tambah perempuan.
“Iya bu, saya hendak mencari saudara saya, tapi saya belum tau persis dimana tempat tinggalnya”. Ia tidak mau berkata jujur bahwa ia sedang menemui kekasihnya.
“Memangnya dia tingal dimana?”
“Kabar yang saya dapatkan, ia tinggal disebuah toko yang menjual buku bacaan. Tidak jauh dari alun-alun kota”.
“Dia tingal ditempat siapa”. Ibu itu kembali bertanya.
“Dia tinggal dirumah sahabat lamanya, Dimas namanya”.
“Sepertinya saya tahu tempat itu, dan pernah berbelanja disana beberapa waktu yang lalu. Coba nanti saya bantu tunjukkan”.
“Terimakasih ya bu, sudah mau membantu saya”.