Sang Multitalenta : Tahun Kedua

M. Ferdiansyah
Chapter #2

Fresh Start

4 Juni 2018, memasuki ajaran baru untuk murid kelas sepuluh, sebelas dan dua belas sekaligus merasakan musim panas sampai bulan September mendatang. Aku mengendarai motor Harleyku yang berwarna hijau tua yang merupakan salah satu dari warna favoritku. Aku bisa membawanya ke sekolah karena aku sudah lolos tes Surat Izin Mengemudi bulan lalu. Sebenarnya, mendapatkan SIM itu sangat mudah, bisa dengan membayar dan langsung jadi, tanpa perlu melakukan tes mengemudi dan segala teori. Namun, hal itu sangat curang, banyak sekali dari mereka yang belum ahli dalam mengenderai motor atau mobil sudah mendapatkan SIMnya terlebih dahulu. Di wilayahku daerah Jakarta Utara banyak sekali korban kecelakaan motor kebanyakan dari mereka masih seumuran denganku. Banyak meninggal akibat menghantam aspal, balapan liar dan tertabarak mobil besar seperti truk dan kontainer.

Berbeda denganku, aku telah latihan sebelum tes mengemudi dimulai. Aku memulai latihan tes dua minggu setelah hari ulang tahunku, aku mulai belajar rutin dari peraturan lalu lintas, tanda-tandanya, etika dalam berkendara dan bagaimana teknik dalam berkendara itu sendiri. Sebenarnya, aku sudah ahli dalam mengendarai motor, aku di ajarkan oleh omku yang bernama Dylan. Jauh sebelum aku membeli motor Harley dari hasil tabungan juara di berbagai macam lomba. Setiap detailnya aku harus perhatikan, karen bisa saja akan ada selalu oknum-oknum yang melakukan kecurangan dan menggagalkan tesku sehingga aku harus merogoh uang lebih banyak untuk bisa mendapatkan SIM secara instan. Aku selalu beruntung dalam segal hal, aku lolos dengan hasil yang sempurna, dengan kemampuanku yang cepat dalam belajar dan menguasai berbagai bidang. Sangat mudah sekali bagiku dalam satu kali tes untuk mendapatkan Surat Izin Mengemudiku. Aku bisa bebas, kemana pun aku berkendara.

***

Saat aku ingin melaju kencang dengan motorku, suasana jalan menuju sekolah sangat padat karena hari ini adalah awal yang segar bagi murid baru kelas sepuluh. Keramaian oleh kendaraan motor sangat meresahkan dari arahku. Tidak seperti tahunku yang ramai akan kendaraan mobil-mobil mewah, aku terus menarik gas secara perlahan-lahan kemudian aku membuka kaca helmku. Dari jauh aku melihat Riska dan Yuni yang sedang berjalan kaki beriringan. Aku senang sekali melihat dua anak Betawi ini bisa masuk sekolah kembali setelah kecelakaan yang menimpa mereka. Aku membunyikan klaksonku lalu aku bisa melihat ekspresi mereka berdua yang kaget dan segera menepi.

"Mau bareng gak?" Tanyaku.

"Yailah, lu gegayaan mau nawarin gua sama Yuni, motor lu aje tuh cuma bisa buat atu orang doang." Ucap Riska dengan logat Betawinya.

"Motor lu cakep bener, bule." Ucap Yuni.

"Ganteng kan ke orangnya. Yaudah gua jalan bareng ama kalian aja ya." Ucapku.

"Nah, yaudeh kapan lagi kan bule jalan sama calon artis hahaha." Ucap Riska seketika membuat orang-orang melihatnya.

Riska selalu berkeinginan untuk menjadi seorang aktris komedian sedangkan Yuni, ia ingin menjadi sutradara film. Mereka berdua berbakat dibidang seni peran, Yuni memiliki kemampuan dalam membaca karakter dan juga keaktoran yang dimainkan oleh seseorang. Riska dan Yuni memiliki logat Betawi yang sangat kental, mereka sudah berteman sejak bayi begitulah yang mereka bilang. Orangtua mereka sangat akrab dan wajahnya persis bagaikan pinang dibelah dua. Awalnya aku tidak percaya namun saat aku bertemu mereka di rumah sakit, ibu Yuni dan Ibunya Riska sangat mirip sekali, persis seperti kakak dan adik.

Lihat selengkapnya