Sejenak kulantunkan azan, hatiku terasa sejuk dan tentram kemudian aku membalikkan badanku dan ternyata di belakang sudah banyak murid yang sedang duduk dan sebagian berdiri. Mereka memandang wajahku kemudian aku mundur ke belakang dan berdiri di samping Bimo.
"Fer, suara lu merdu banget, sampe merinding gua dengernya." Bisik Bimo.
"Ah bisa aja lu." Balasku sambil tersenyum.
Aku menengok ke arah belakang dan ternyata mereka masih memandangiku dengan tatapan mata yang tajam dan wajah sumringah, hal ini menandakan bahwa mereka menyukai suara azanku. Tak berselang lama kulantunkan azan, lalu kulanjutkan solat rawatib qobliyah atau solat sunnah sebelum sholat fardhu. Aku mengerjakan solat sunnah dengan sebaik mungkin, aku merasa paling rugi jika mengerjakan sesuatu yang wajib. Namun, tidak mengerjakan yang sunnah atau mengerjakan yang sunnah. Namun, meninggalkan yang wajib. Setelah solat qobliyah, aku melihat-lihat keadaan sekitarku lagi yang kali ini cukup padat dan sedikit sesak seperti solat Jumat berjamaah. Seorang guru menolehku dari belakang menggunakan jarinya untuk menyuruhku iqomah yang berarti sholat akan dimulai.
Setelah iqomah, ternyata guru yang menolehku merupakan guru agama. Ia bernama Pak Ismail, aku tahu karena dari pakaian yang rapi, menggunakan peci, dan terlihat ada titik hitam di jidatanya yang menandakan ia rajin sujud. Pak Ismail langsung mengambil posisi imam untuk memimpin solat zuhur berjamaah. Di sampingku ada seorang murid yang memakai peci berwarna putih, ia merupakan anak baru sepertiku. Aku merasa yakin bahwa ia memantauku sejak kuazan tadi. Aku melihat di nametagnya, ia bernama Ilham yang sangat terlihat seperti anak rohani islam.
Aku melafazkan Allahu Akbar saat takbiratul ihram dalam hati setelah imam berkata Allahu Akbar. Aku melaksanakan solat fardhu dengan sungguh-sungguh dari hati yang paling dalam walaupun aku yakin tidak ada seorang pun yang solat dalam keadaan khusyu kecuali Nabi Muhammad SAW.
Setelah selesai sholat dan berdoa, aku di panggil oleh Pak Ismail.
"Nak, kamu dari pesantren mana?" Tanya Pak Ismail.
"Saya? Atau Ferdian, Pak?" Tanya Bimo.
"Kamu, bule." Ucap Pak Ismail.
"Hah? Saya? Umm saya mah bukan dari pesantren pak." Jawabku gugup.
"Ohh, tapi bapak dengar, suara kamu bagus, lantang, dan tidak tergesa-gesa." Ucap Pak Ismail saat di dalam masjid.
Menurutku pak Ismail adalah orang yang supel dan tidak terlalu kaku. Terlihat dari ucapannya yang gaul, logatnya orang Betawi asli, wajahnya terlihat masih muda, terlihat bibirnya sedikit hitam yang menandakan ia seorang perokok aktif.
"Ya sudah pak, kami berdua mau ke kantin dulu." Ucapku.