Sang Multitalenta : Tahun Pertama

M. Ferdiansyah
Chapter #21

REGINA X MIYA

Selama dalam Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah atau MPLS, OSIS bertanggungjawab penuh atas semua murid baru dalam waktu yang ditentukan yaitu tiga hari. Semua yang dilakukan oleh anggota OSIS akan dipantau langsung oleh Majelis Perwakilan Kelas atau MPK dan dinilai secara diam-diam oleh bapak atau ibu guru dibidang kesiswaan kemudian hasilnya disampaikan kepada kepala sekolah, saat aku mengambil tas, Riska mengajakku duduk di bangku lapangan sekolah. Ia menceritakan sebuah kasus kepadaku sebelum sekolah ini menjadi negeri, ia diberitahu oleh ayahnya mengenai salah satu siswi yang berprestasi bernama Elisabeth, ia diketahui bunuh diri akibat tidak mendapatkan beasiswa tahunannya menjelang kenaikan kelas sebelas. Ia menceritakan detailnya mengenai salah satu ketua geng perempuan bernama Rabies. Geng Rabies sendiri terdiri dari Michelle, Venita, Nandita, dan Sasha. Riska bicara kepadaku dengan berbisik mengenai siapa itu Sasha, ia bilang bahwa Sasha adalah ketua geng Rabies yang paling ditakuti di SMAN Internasional Jakarta. Sasha merupakan anak tiri dari Pak Bonar Simatupang, yaitu kepala sekolah yang katanya rakus terhadap uang beasiswa sekolah. Tahun lalu, saat ia masih kelas sepuluh, Sasha mengajukan diri untuk mendapatkan beasiswa sekolah berbarengan dengan anak miskin berprestasi yang ingin mendapatkan beasiswa. Sasha juga salah satu siswi yang mendapatkan beasiswa penuh selama tiga tahun. Riska bilang ia sengaja melakukan hal tersebut karena itu sudah menjadi obsesinya untuk membuat orang miskin menderita. Riska melanjutkan ceritanya bahwa Sasha sengaja tidak sekolah selama tiga hari MPLS karena ia adalah sampah sekolah yang menghancurkan harga diri anak-anak beasiswa.

Riska melanjutkan cerita mengenai kematian Elisabeth, Elisabeth tertekan karena ia tidak sanggup membayar sekolahnya. Elisabeth meninggal dalam keadaan tangan tersayat dan mayatnya ketahuan saat pagi hari. Ibunya merupakan pedagang donat keliling, sedangkan ayahnya seorang kuli panggul di pasar tradisonal. Elisabeth termasuk salah satu murid jenius di kelas sepuluh kemudian saat kenaikan kelas sebelas, kepala sekolah merencanakan aksi busuknya agar uang beasiswa selalu mengalir ke rekeningnya. Kasus tersebut ditutup pada tahun sebelum pembukaan sekolah dimulai dan semua bukti-bukti sudah di hancurkan, dari rekaman CCTV, rekaman suara, dan artikel di sekolah. Sebagian orang percaya kasus Elisabeth direncanakan dan sebagian lagi tidak.

Aku yang mendengar cerita Riska cukup terkejut bahwa sekolahku memiliki sebuah rahasia terbesar. Aku yakin jika Margaret mendengar kisah Elisabeth mungkin ia akan melawan Sasha dan ayah tirinya atau lebih tepatnya kepala sekolah kami.

"Lu mau tau, Fer? Lu adalah salah satu orang yang mungkin bisa mengalahkan Sasha tahun ajaran ini." Ucap Riska

"Bentar-bentar, kok tiba-tiba lu bisa logat bahasa Indonesia?" Tanyaku kepada Riska karena tidak berlogat betawi.

"Kalo ngomong betawi doang gua mah nyablak. Ini kan gua lagi cerita dan suara gua pelan, makanye gua pake bahasa Indonesia aje." Ucapnya.

Kami berbaris di lapangan dengan suasana campur aduk akibat ulah Margaret dan Venita. Suara dari berbagai arah membicarakan Rizal, Venita, dan Margaret. Butuh waktu sekitar lima menit, kami semua langsung diberi izin pulang oleh Michelle. Sebelum pulang, Michelle memberitahu kami bahwa besok semua murid harus mengenakan seragam pramuka SMA, tanpa embel-embel lambang pramuka SMP dan diwajibkan mengenakan sepatu pantovel berwarna hitam.

Kami pergi ke Ruang BK untuk menunggu Margaret, kami menunggu cukup lama. Namun, beberapa dari kami harus segera pulang dan beristirahat di rumah masing-masing setelah melaksanakan PBB. Bimo, Andin, Regita, Devi, Miya dan Regina, pulang lebih dulu, sedangkan aku, Riska, Yuni, dan Betty menunggu Margaret di depan Ruang BK.

"Kita udah hampir satu jam loh nunggu Margaret, kok belum keluar juga ya?" Tanya Betty heran.

"Untung aje si Venita kagak ada masalah ama gua, kalo kagak mah udah gua sirem pake aer soto, tuh perempuan." Ucap Riska.

"Anjir, serem banget sayyy, sama bar-barnya lu ya kek Margaret." Ucap Betty sambil tertawa.

Aku juga bertanya-tanya mengapa Margaret sangat lama di Ruang BK, aku ingin membuka pintu tersebut. Namun, hal tersebut tidak sopan menurutku jadi aku hanya perlu menunggu dan bersabar. Aku takut, Margaret akan dikeluarkan dari sekolah atau mendapat surat peringatan terakhir dari Bu Mei. Tiba-tiba aku ingin buang kecil akibat terlalu lama berdiri di koridor.

"Gua ke toilet dulu ya." Ucapku.

"Iya, Fer." Ucap Betty, Riska dan Yuni.

Aku pergi ke toilet yang berada di dekat masjid karena toilet di dekat Ruang Kepala Sekolah penuh oleh kakak kelas. Aku berlari kecil menyusuri koridor sekolah, saat aku melangkahkan kakiku menuju toilet, aku melihat Regina dan Miya sedang mengobrol di dekat Ruang Seniman. Aku tidak sengaja mendengar pembicaraan mereka, aku mendengar sebuah kata yang mengerikan yaitu HIV. Aku kira mereka berdua sudah pulang bersama dengan yang lain dan yang membuatku bingung adalah mengapa mereka membicarakan soal HIV.

"Apa jangan-jangan Miya terkena HIV?" Pikirku sejenak kemudian pergi ke toilet.

Lihat selengkapnya