Sang Multitalenta : Tahun Pertama

M. Ferdiansyah
Chapter #42

BERMAIN PERAN

Aku terbangun di tempat tidurku dengan kepala yang sedikit pusing. Aku membuka mataku dan memandang langit-langit berwarna putih, aku juga mendengar suara seseorang yang sedang mengaduk minuman. Aku membalikkan badanku ke sebelah kiri karena suaranya berasal dari dapur, saat mataku mencari sumber suara, aku melihat bundo yang sedang mengaduk minuman tersebut.

"Bun, Ferdi bukannya ikut lomba ya?" Tanyaku pada bundo.

"Syukurlah, nak. Kamu sudah siuman, bundo khawatir katanya kamu pingsan di belakang panggung." Ucap bundo kemudian menghampiriku dengan perasaan khawatir.

Bundo memelukku sejenak kemudian ia menceritakan mengapa aku bisa berada di kamarku. Saat di belakang panggung, keadaan cukup riuh karena peserta terkejut melihat diriku terkapar di lantai. Bundo bilang, ia menghampiriku kemudian membawaku ke kamar. Ia juga terkejut bahwa aku memesan kamar hotel tanpa sepengetahuannya karena hal itu melanggar aturan perlombaan, sekiranya tuan rumah sudah memberikan fasilitas yang terbaik harus dipergunakan sebaik mungkin.

Setelah menceritakan bagaimana aku bisa sampai di sini, bundo mencubit lenganku karena telah memberikan penampilan yang berbeda saat latihan. Bundo bilang, aku membaca puisi sambil menggunakan tarian. Namun, saat di panggung aku melakukan apa yang seharusnya kulakukan. Sebagai bahan bukti, bundo menunjukkan rekaman video penampilanku saat di panggung. Aku melihat di ponsel bundo yang bermerek Samsung berwarna hitam. Aku menonton rekaman tersebut dan benar kata bundo bahwa aku melakukan improvisasi yang aneh. Aku tidak bisa berkata-kata lagi, aku membaca puisi dengan setengah sadar. Namun, semua orang suka dengan penampilanku termasuk bundo.

Bundo mengambil ponselnya dari tanganku kemudian mengambil sesuatu dari salah satu kemejaku berwarna putih yang ku gantung di lemari. Ia mengambil barang tersebut kemudian meraih tanganku dan bertanya barang apa yang telah kusembunyikan.

"Ferdian, kamu benar-benar keterlaluan dan bundo tidak pernah menyangka kalo selama ini kamu pakai narkoba." Ucap bundo terkejut kemudian menghadap jendela di sebelah kanan menghadap barat.

Aku melihat bundo memangku tangan kanannya dan berdiri di hadapan matahari sehingga saat kulihat membentuk backlight. Aku tidak mengerti mengapa bundo menuduhku memakai narkoba, padahal aku sudah tidak memakai lagi. Aku sudah mengatakan sejujurnya pada bundo yang pernah kulakukan sebelumnya, hal terakhir yang kupakai saat itu hanya mabuk sebelum masuk SMA dan aku pernah memakai obat-obatan akibat mengalami tekanan dari sepupu-sepupuku dan harus melupakan kematian kedua orangtuaku.

Aku meyakini bundo bahwa aku telah dijebak. Namun, bundo memiliki bukti, ia memberikan jenis obat-obatan yang ada di dalam lemariku. Saat aku melihat barang haram tersebut, aku langsung teringat dengan Dimas, aku belum melihat ia tampil bahkan aku tidak tahu ia berasal dari provinsi mana. Aku menceritakan kepada bundo tentangnya, awalnya bundo tidak percaya namun karena penasaran ia mencari daftar nama peserta di grup. Bahwa tidak ada yang bernama Dinas.

Setelah bundo mengecek daftar nama di ponselnya, ia segera meninggalkanku kemudian di saat ia ingin membuka pintu bundo mengingatkanku bahwa pengumuman akan di mulai selepas magrib. Aku turun dari kasur dan menuju dapur, aku mengambil minuman yang telah dibuatkan oleh bundo. Saat kulihat ternyata secangkir teh, cangkir tersebut berwarna putih polos. Aku mengaduk teh tersebut, dengan sebuah sendok kecil. Aku mengangkat cangkir tersebut kemudian mencium aroma teh yang begitu khas. Aku melangkahkan kakiku sembari membawa secangkir teh tersebut. Aku menuju jendela dan melihat pemandangan kota Surabaya di saat senja. Aku menghirup sejenak, kemudian menyeruput teh tersebut. Rasanya tidak terlalu manis dan aku menyukainya.

Aku menghadap belakang berharap bundo kembali kemudian aku menghadap jendela lagi dan melihat kendaraan yang sedang berlalu lalang dan beberapa orang yang sedang berjalan kaki. Aku menyeruput teh kembali dan mengatakan “Maafkan aku bundo.”

Aku baru sadar apa yang telah kulakukan, aku telah berbohong kepada bundo. Sebenarnya, aku mendapatkan obat tersebut dari Dimas. Aku membelinya saat ia menunjukkan padaku saat pertama kali kita satu ruangan. Saat jam 03.00 pagi, aku tidak bisa tertidur karena memikirkan tawaran Dimas, ia membuatku bernostalgia pada narkoba. Saat jam itu juga, aku membeli obat yang membuat pikiranku tenang, aku melakukan hal tersebut karena aku akan membawakan puisi sedih. Aku tidak ingin di hari perlombaanku, aku tidak mendapatkan sebuah rasa. Aku sempat berkenalan dengan Dimas dan berbicara banyak mengenai kehidupannya. Ia bukan seorang peserta melainkan wali murid dari adik perempuannya yang bernama Zahra. Mereka berdua asli orang Surabaya namun ekonomi keluarga Dimas sangat terpuruk sehingga ia harus menjual narkoba untuk membayar rumah sakit untuk ibunya. Zahra tidak mengetahui abangnya seorang pengedar, mungkin jika ia tahu, ia akan marah besar padanya.

Lihat selengkapnya