Bel sudah menunjukkan pukul 15.00 sore, ini adalah waktu yang tepat untuk melepas penat dan keresahanku dari tadi pagi. Aku harus bergegas mengambil ponsel milik Riska. Aku dan yang lain beruntung tidak mendapat hukuman dari Pak Bonar, ia hanya memberi peringatan terakhir. Ia bilang, jika semua murid kelas sepuluh bahasa berulah kembali maka tidak segan-segan ia akan membuat semua nilai rapot kami merah.
Aku berjalan keluar dari lorong kelas menuju ke bawah, aku segera menuju parkiran dan saat aku sampai di ruang audio visual, aku mendengar sebuah informasi penting yang kali ini berasal dari bundo.
“Untuk nama-nama yang disebutkan harap masuk ke dalam gedung teater, pertama Ferdian Merriman.” Ucap Bundo.
“No, again, arghhh.” Ucapku kesal.
Kemudian bundo melanjutkan nama-nama selanjutnya yang tidak mau kudengar karena aku harus menutupi kepalaku dengan hoodie dan memakai handsfree. Aku malu jika harus bertatapan lagi dengan semua murid. Aku harus naik ke lantai empat, menuju gedung teater. Dengan langkah kaki yang malas, aku menuju kantin terlebih dahulu untuk membeli minum.
Setelah membeli minuman, aku langsung menuju gedung teater. Semua murid yang melewati koridor sudah sepi aku berjalan terburu-buru kemudian menaiki lift ke lantai empat. Sampai di atas, aku berjalan lagi menuju ruang teater. Aku sampai di depan pintu kemudian membuka pintu teater tersebut. Saat aku masuk betapa terkejutnya aku melihat semua murid yang ternyata teman sekelasku. Perasaanku sangat lega dan tersenyum. Kali ini, sebagai bentuk terima kasihku, aku duduk di sebelah Irfan, di kursi tengah. Urutan tempat duduk dari kursi F 7– F14 di isi dari arah sebelah kiri menghadap panggung ada Betty, Andin, Regita, Devi, dan Miya. Untuk kursi di atas F, ada kursi G yang di isi dari G7- G14 dari sebelah kiri, ada Sahrul, Alvaro, Bimo, Irfan, aku dan Margaret.
Saat kami sedang asyik mengobrol dan Irfan sangat ramah sekali ketika aku meminta maaf padanya. Apa selama ini Irfan tidak sejahat yang Betty bilang? Apa selama ini Betty yang berbohong?, ia sengaja playing victim seolah-olah ia adalah korbannya. Aku tidak menyangka jika hal tersebut benar, ini adalah toxic relationship antarar Betty dan Irfan.
Di sela perbincangan kami, seseorang mengetuk pintu teater, saat kami membalikan badan, ternyata dia adalah Regina. Aku rasa dia adalah murid ke dua belas yang dipinta untuk bergabung bersama kami. Kami semua diam dan hanya melihat Regina yang ingin duduk di kursi paling pojok. Ia memang sangat arogan dan tidak ingin bergabung bersama kami. Aku baru tahu ada seorang kutu buku yang pemberani seperti Regina. Biasanya di sebuah film atau sinetron kutu buku adalah korban dan tidak bisa melawan. Namun, untuk Regina, ia bisa meyakinkan dirinya untuk bisa melawan mereka yang ingin membuatnya merasa disingkirkan.
Setelah Regina duduk di kursi paling ujung, urutan F. Bundo datang dari sayap kanan teater dari arah penonton. Bundo memegang mic bersamaan dengan Bu Mei. Wajah mereka penuh dengan pertanyaan sepertinya mereka ingin mengetahui pribadi kami masing-masing yang selalu mencolok dan mendapatkan banyak masalah.
“Assalamualaikum waramatullahi wabarakatuh, selamat sore anak-anak bundo tercinta.” Ucap Bundo.
“Waalaikumsalam, bundo.” Balas kami semua.
Kemudian bundo menjelaskan alasan memilih kami berada di ruang teater kemudian bundo mengambil kertas portofolio yang di pegang oleh Bu Mei. Ia mengatakan bahwa kertas yang dipegang bundo adalah hasil 12 autobiografi yang palsu dan tidak nyata. Bundo selama ini menjebak kelas bahasa untuk berkata jujur dalam menuliskan autobiografi. Namun, yang dipilih bundo adalah cerita yang tidak sebenarnya. Dua belas orang di ruang teater ini menuliskan autobiografi yang tidak sesungguhnya. Bundo tahu bahwa aku tidak jujur, semua kisahku tidak sepenuhnya kutulis. Bundo memang sangat pintar dan memiliki insting yang kuat.
“Bundo akan memanggil nama kalian satu persatu untuk memberikan kejujuran kalian dari kecil sampai sekarang karena yang bundo tahu hanya kalian semua yang menuliskan riwayat hidup kalian yang tidak jujur. Bundo bisa merasakan banyak sekali keraguan di cerita kalian. Langsung saja bundo akan memanggil Devina Elisa Marbun untuk maju ke depan dan ceritain kisah kamu dan bundo mau cerita yang kamu sampaikan ini adalah hal yang jujur dan akan menjadi rahasia kita semua.” Ucap Bundo.
Devi naik ke atas panggung dengan perlahan-lahan kemudian memegang mic yang diberikan bundo. Devi tidak gemetar saat memegang mic karena ia sudah terbiasa bernyanyi di depan banyak orang. Namun, ia terlihat bingung darimana ia harus bercerita tentang kisah hidupnya. Beberapa menit kami menunggu, ia menceritakan kisah hidupnya yang ternyata memiliki masalah di kehidupan keluarga.
“Ayah saya termasuk orang yang kasar dan keras sekali. Ia suka memukul ibu saya. Kadang omongan mereka dalam menggunakan bahasa batak begitu keras dan terdengar oleh tetangga. Saya hampir menjadi anak broken home. Mereka sering bertengkar di depan saya. Namun, tidak sampai ke perceraian, terima kasih.” Ucap Devi kemudian menangis dengan senyuman.
Di autobiografi milik Devi, ia tidak menuliskan tentang hal tersebut. Ia hanya memiliki masalah karena memiliki suara yang fals. Faktanya, bundo sudah tahu Devi memiliki prestasi di bidang tarik suara.
Selanjutnya, bundo memanggil Irfan, ia naik ke atas panggung melewati tangga disebelah kiri kemudian berjalan ke tengah lalu duduk di atas panggung. Ia memegang mic dengan gemetar, semua murid tertawa begitupun dengan ia sendiri. Namun, setelah itu ia menyeka air matanya, ia menceritakan kisah peliknya yang memiliki orangtua yang terlalu fanatik terhadap agama islam dan tidak mementingkan kata toleransi terhadap agama lain dan tidak memiliki keseimbangan dalam hidupnya. Irfan memanggil ayahnya dengan sebutan Abi dan ibunya dengan panggilan Umi. Ayahnya Irfan sangat ingin anaknya masuk pesantren daripada masuk ke SMA swasta atau negeri. Irfan masih menyembunyikan rahasia terbesarnya, yaitu memakai narkoba.