Oleh: Nacht
“Kau sudah siap membakarnya?” Kalten sudah berdiri di sampingku sambil menyandarkan punggung ke tembok ketika aku sedang mempersiapkan tungku besar untuk melenyapkan “barang bukti”.
Aku menoleh kepadanya sejenak, kemudian kembali melayangkan tatapan ke tungku. “Tidak baik menyimpan ‘daging’ terlalu lama, apalagi sampai busuk dan menimbulkan bau tak sedap. Tuan muda juga terus mengomeli saya untuk segera menyingkirkannya,” jawabku.
Kupikir Kalten akan langsung meninggalkanku setelah mendapat jawaban atas pertanyaannya. Namun, ternyata dia masih berdiri di tempat yang sama. Kali ini setengah “melayang” di udara.
“Kau tak mau berterima kasih kepadaku? Haruskah aku ingatkan kalau akulah yang sudah membantumu menyingkirkan semuanya?”
Iblis perempuan itu mengitariku dalam posisi tidur dan menyangga kepalanya dengan sebelah tangan. Malas mengakui, tapi apa yang dikatakannya memang benar. Satu-satunya yang bisa melenyapkan seluruh barang bukti atas kematian Angie Becker adalah dia. Ah! Kecuali jasadnya, karena akulah yang akan melakukannya sekarang.
Ternyata tak salah Tuan muda memelihara iblis seperti dia. Sekali lagi meski malas kuakui, keberadaannya memanglah sangat membantu. Terutama di situasi genting seperti beberapa waktu lalu. Tadinya aku berpikir kami akan membiarkan mayat Angie Becker begitu saja di dalam kamar hotel. Hanya menunggu petugas hotel menemukannya dan melaporkannya kepada polisi. Namun, saat itu Kalten yang ternyata mengikuti Tuan muda tidak mau ambil risiko. Iblis perempuan itu bersikeras untuk melenyapkan mayat gadis itu dan membuat semua situasi kembali seperti sedia kala.
Mulai dari kondisi kamar hingga CCTV yang terpasang di semua sudut hotel, Kalten-lah yang membereskannya. Dia benar-benar menghapus semua jejakku di sana. Membuatku nol persen menjadi tersangka. Sementara Angie Becker sendiri, sudah pasti akan menjadi kasus kehilangan biasa. Meskipun demikian, aku tidak boleh lengah. Setidaknya, ada CCTV yang pernah memperlihatkan sosokku dan Angie Becker tengah bersama, yakni di supermarket. Selain itu, namaku juga tercatat di sana. Namun, untuk peristiwa yang satu itu aku tak menceritakannya kepada siapa pun. Lagi pula untuk apa? Meskipun polisi datang dan menanyaiku, mereka tidak punya bukti untuk menuduhku sebagai tersangka.
“Kau tahu? Apa yang kau lakukan itu bisa saja membahayakan Licht,” ucap Kalten yang entah sejak kapan sudah kembali “membumi”.
Aku sedikit terkekeh mendengarnya. Lalu membalas kalimatnya dengan berkata, “Tak ada kata membahayakan dalam kamus Tuan muda, Nona Kalten. Anda tahu sendiri sebesar apa rasa percaya diri yang dimilikinya, bukan?”
“Yah, tapi tetap saja kau harus berhati-hati,” katanya sambil mengangkat bahu. “Aku hanya tak ingin sesuatu terjadi kepadanya. Kau sendiri sudah tahu tak ada lagi manusia sepertinya, bukan?”
“Tentu saja. Anda sendiri pernah bilang kalau di dunia ini ada banyak manusia seperti Tuan muda, tidak mungkin Anda mau mengikutinya sampai sekarang.”
“Itu sudah jelas. Karena itu, mulailah berhati-hati dari sekarang!”
Tuan muda butuh tontonan menarik. Ia butuh sesuatu yang bisa membuatnya terhindar dari rasa bosan. Sementara aku, aku hanya mencoba membantu mewujudkannya. Itu saja. Dan lagi, aku tidak ingin dianggap tak berguna karena tak bisa melakukan apa-apa selain mengurus rumah.
“Ah, iya! Sebelum pergi biar kuingatkan kau,” kata Kalten tiba-tiba. “Licht sudah memerintahkanku untuk melepaskan ‘pelindung’. Jadi, sebaiknya kau tidak lagi berbuat ulah,” jelasnya.
“Tuan muda yang memerintahkan Anda?”
“Ya! Tentu saja!”
“Apa tidak akan janggal kastel yang beberapa waktu lalu menghilang kini kembali lagi? Bagaimana dengan warga sekitar? Memangnya tidak akan menimbulkan kecurigaan?”
Yah, belum lagi dengan kedua inspektur itu. Sudah pasti mereka akan datang setelah mengetahui kastel ini kembali muncul.
“Kau takut?” Iblis perempuan itu menyeringai. Tatapannya menyiratkan ejekan, membuatku merasa menyesal karena telah bertanya. “Kau lupa siapa yang telah menciptakan kastel ini? Kau juga lupa kalau aku pernah menjelaskan bahwa kastel ini bisa memanipulasi ingatan orang-orang?”
Aku menyerah. “Yah, Anda boleh menganggap saya lupa.”
Namun, apa yang membuat Tuan muda ingin kembali “diperhatikan” dunia? Semenjak insiden di Castle Church, dia sama sekali tak berniat melihat dunia luar. Dia juga sepertinya nyaman dengan kondisi kastel yang-tak-terlihat. Lalu, apa yang membuatnya berubah pikiran?
“Wajah bingungmu itu terlihat konyol.”
Oh, jangan mengatakan hal yang sama seperti yang sering dikatakan Tuan muda, Makhluk terkutuk!
“Aku tak tahu apa yang sedang dipikirkan Licht sekarang. Tapi aku yakin kalau dia sudah bosan dengan suasana tenteram. Sepertinya dia butuh ‘hiburan’.” Iblis perempuan itu kembali menyeringai. “Untuk makan malam nanti aku ingin piza,” katanya yang telah keluar dari pembahasan semula.
“Sudah lama saya tidak ke supermarket. Persediaan di kulkas hanya tinggal bratwurst1 dan sayuran yang bisa dikatakan sudah tidak lagi segar.”
“Bratwurst lagi?! Aku sudah bosan dengan itu!”
Kutunjukkan senyum terbaik seraya menatapnya. “Kalau begitu, bisakah Anda memohon kepada Tuan muda agar mengizinkan saya ke supermarket hari ini?”
Wajah iblis perempuan itu seketika merengut. “Aku tak mau cari gara-gara.” Dia melipat kedua lengan di dada kemudian lanjut berkata, “Bratwurst juga tidak apa-apa.” Detik selanjutnya iblis itu sudah menghilang di udara.
Iblis saja takut kepada Tuan muda. Itu bagus. Untuk sementara aku bisa “menggunakan” Tuan muda sebagai alasan ketika harus berhadapan dengan iblis perempuan itu.
Haah …. Sebaiknya cepat-cepat kuselesaikan pekerjaan ini dan kembali ke sisinya. Dia pasti sudah merengek minta dibuatkan minuman kesukaannya.
***
“Lama sekali,” gerutu Tuan muda begitu kuletakkan secangkir cokelat panas ke hadapannya. “Sudah kau bereskan semuanya?”