SANG PELAHAP JIWA #2 DANAU HITAM

Emma Susanti
Chapter #3

BAB II TAMU TAK DIUNDANG

Setelah menarik napas dalam-dalam aku pun membuka lebar pintu utama. Namun, baru saja dibuka, seorang pemuda berambut pirang dan keriting tiba-tiba masuk begitu saja sebelum sempat dipersilakan. Sementara pria berkacamata yang masih berdiri terpaku di hadapanku melongok ke dalam sembari memanggil-manggil pemuda tersebut dengan sebutan “Mon seigneur”.1

Orang Prancis?

“Waah! Sudah kuduga dalamnya akan semegah ini! Meski di luar kesannya sangat suram, tapi kesan suram itu langsung hilang saat kau sudah berada di dalam. Cepat kemari, Minuit!” seru pria berambut keriting itu sambil berputar-putar di bawah lampu kristal yang menggantung di ruang utama.

Dia tidak menggunakan bahasa Prancis, melainkan bahasa yang sama seperti yang sering kugunakan. Ya, bahasa Jerman. Tidak terdengar belepotan, bahkan sangat lancar. Aku jadi yakin bahwa dia juga seorang Deutschland.2

Pria berkacamata di hadapanku terlihat kikuk. Setelah sedikit menganggukkan kepala—seolah meminta izin, ia pun ikut masuk ke bagian dalam kastel.

Mon seigneur, bukankah tidak sopan memasuki kediaman seseorang tanpa permisi?” tanyanya memelankan suara.

Sudah pasti aku mengikuti kedua orang tamu tak diundang itu. Sebisa mungkin mereka harus tetap berada dalam pengawasanku, karena jika lengah sedikit saja aku tak tahu apa yang bisa mereka lakukan terhadap kastel milik Tuan muda ini.

Sebentar! Sepertinya aku melupakan sesuatu. Ah, iya! Di mana iblis perempuan itu? Padahal sampai beberapa menit lalu ia masih berada di belakangku. Mungkinkah dia bersembunyi? Bukankah tadi dia bilang akan melindungiku? Sekarang, dia malah kabur?!

“Ehem!” Sengaja kukeraskan dehaman agar kedua orang asing itu menoleh sekaligus sadar bahwa posisi mereka di sini hanyalah sebagai tamu. Namun, bukan hanya menoleh pemuda berambut keriting itu malah menghampiri dan mendekatkan wajahnya ke wajahku—meski dia harus sedikit berjinjit untuk melakukan itu.

“Ah! Aku tahu kau!” katanya yang sontak membuatku terkejut.

“Anda tahu saya?” sahutku mengerutkan kening.

Meski mencoba mengingat aku yakin bahwa baru kali ini kami bertemu muka. Jadi aneh rasanya jika tiba-tiba dia mengatakan bahwa dia mengenaliku. Atau jangan-jangan, dia pernah melihatku dan Angie Becker? Di hotel? Semoga saja tidak.

Pemuda berambut keriting itu kembali melayangkan pandangan kepada si pria berkacamata. “Iya, kan?” katanya seolah ingin memastikan. Namun, lawan bicaranya tak memberikan jawaban melainkan hanya sedikit memberi anggukan samar.

“Maaf,” memundurkan sedikit tubuh darinya, “jika Anda tidak keberatan, bisakah Anda memberi tahu saya maksud kedatangan Anda ke sini?”

“Ah, ya!” Pemuda berambut keriting itu kembali menatapku. “Aku dan Minuit ingin tinggal di sini.”

Eum … sepertinya bocah ini memang ingin dihajar.

“Maksud Anda?” Kuputuskan untuk tetap bersikap santun pada akhirnya.

Dia tinggal di sini, ‘kan? Karena itu, aku putuskan untuk tinggal di sini juga,” ucap pemuda berambut keriting itu sebelum melangkahkan kaki menuju jendela besar yang langsung menghadap ke arah taman bunga yang dipenuhi tulip hitam kesukaan Tuan muda.

Seharusnya aku bisa menangani bocah yang suka seenaknya seperti dia. Apalagi mengingat bagaimana peringai tuanku selama lebih dari sepuluh tahun ini. Kalau saja aku tak diharuskan bersikap sopan terhadap orang luar, sudah pasti aku akan menendangnya sebelum sempat berbicara macam-macam.

Ingin tinggal di sini, katanya? Yang benar saja! Memang siapa dia? Aku yakin kalau dia hanyalah seorang manusia biasa. Namun, yang lebih menyebalkan lagi adalah si pria berkacamata yang tak bisa menjaga tuannya agar tetap bersikap sopan.

Tak perlu diberi tahu pun aku sudah tahu kalau pemuda berambut keriting itu adalah majikan si pria berkacamata. Jika tidak, dia tidak akan dipanggil dengan sebutan “mon seigneur”, bukan?

“Berisik sekali.”

Semua perhatian langsung tertuju pada gumaman kecil yang berasal dari tangga. Suara langkah kaki kecil yang diayunkan secara perlahan membuatku tak perlu bertanya siapa yang berada di atas sana. Di lain sisi, aku masih mempertanyakan kepergian iblis perempuan itu. Mungkinkah kali ini ia akan muncul bersamaan dengan Tuan muda?

Begitu sosok Tuan muda beserta pakaian serba hitamnya muncul, pemuda berambut keriting itu langsung memelesat menghampirinya. Di wajahnya tergambar rasa antusias yang luar biasa. Sepertinya aku tahu siapa “dia” yang dimaksudnya sekarang.           

“Kau yang di Castle Church waktu itu!” seru pemuda berambut keriting itu bersemangat.

Castle Church? Dia melihat Tuan muda di sana?

“Aku tak bisa melupakan penampilanmu yang aneh!” serunya lagi.

Penampilan yang aneh … cih! Rambut hitam kemerahan dan kedua bola matanya yang berwarna hitam pekat lebih cocok membuatnya disebut “mencolok” daripada aneh.

Tuan muda yang sempat menghentikan langkah kini kembali menuruni tangga. Dia melewati begitu saja pemuda berambut keriting itu. Sepertinya dia juga tampak tak terlalu memedulikan tempat yang diklaim pemuda berambut keriting itu pernah melihat sosoknya.

“Sebenarnya aku sedang tak ingin berbasa-basi. Aku juga tak ingin menerima tamu. Apalagi tamu tak diundang. Tapi,” Tuan muda mengembangkan senyum khasnya dan beralih menatapku, “kurasa pembicaraan kita akan sedikit lebih menarik. Karena itu, Nacht! Siapkan jamuan untuk tamu-tamu kita ini di ruang kerja.”

Jika kau anggap mereka bisa menghilangkan kebosananmu maka aku hanya bisa menurut.

"Ja, Jünger meister!"

***

“Oh! Saya kira tikus pencuri yang sedang mengacak-acak kulkas,” ucapku begitu memasuki dapur dan mendapati Kalten tengah mengambil sepotong bratwurst dari dalam lemari pendingin. Aku tak akan terlalu mempermasalahkannya jika iblis perempuan itu tak membiarkan lemari pendinginnya terus-menerus terbuka.

“Aku butuh camilan,” kilahnya yang kemudian mengembalikan bratwust di tangan ke tempat semula.

“Iblis butuh camilan?” sindirku.

“Terlalu lama hidup di dunia manusia membuat metabolisme tubuhku berubah!”

Ya, ya, ya.

Mengambil salah satu set cangkir berbahan porselen yang beberapa bulan lalu dibeli di sebuah toko antik yang tak jauh dari pusat kota. Sambil menyiapkan beberapa camilan juga minuman hangat, kuajak iblis perempuan itu bicara.

“Saya kira Anda akan menemani saya untuk menghadapi dua orang itu,” kataku setelah teringat perlakuannya meninggalkanku seorang diri di depan pintu utama tadi.

Melirik Kalten yang kini sudah bersandar di dekat pintu. Lalu tak lama ia memberikan balasan, “Aku ingin membuat kejutan.”

Kejutan …?

Lagi-lagi dia membuatku kesulitan untuk mencerna maksud dari ucapannya.

“Anda tak perlu menunggu saya untuk bertanya. Jadi, lebih baik Anda langsung saja menjelaskan maksud dari kata-kata Anda barusan,” kataku tanpa sedikit pun melirik kepadanya.

Dia mendengkus kesal. Mungkin, sambil mengarahkan delikan tajam.

“Aku ingin muncul paling akhir. Seperti tokoh penting di film-film. Kau tahu, kan, perasaan pahlawan yang akhirnya muncul di waktu genting? Di saat semua orang benar-benar menanti kedatanganmu?”

Permainan apa lagi yang sedang ingin kau lakukan?

“Aku ingin mengejutkan iblis itu,” katanya lagi.

Ah! Iblis yang bersembunyi di balik kacamata itu?

Meski dia menutupi kedua bola mata dengan kacamata, iris matanya yang berwarna merah menyala itu tetap saja kelihatan mencolok. Sekali lihat saja aku sudah tahu kalau dia itu iblis, sama seperti iblis perempuan yang kini sedang berada di dekatku sekarang.

Kendati demikian, sikapnya yang sudah seperti manusia itu membuatku sedikit penasaran. Mungkinkah iblis itu sengaja mempelajari sikap kami agar dapat dengan mudah berbaur dengan manusia lain? Agar tidak terlihat mencurigakan ketika menginjakkan kaki di dunia manusia? Bahkan, sikapnya jauh lebih manusiawi ketimbang Tuan muda. Ups!

“Anda tidak akan ikut dengan saya ke ruang kerja?” tanyaku setelah mempersiapkan semuanya ke atas troli.

“Tidak!” tolaknya cepat. “Aku akan muncul di saat kalian membahas hal yang penting.”

Haah …

Sikap kekanak-kanakannya mau tak mau membuatku mengangkat bahu. Aku hanya berharap bahwa iblis perempuan itu tidak mencuri apa pun lagi dari dalam lemari pendingin. Dia harus sadar bahwa persediaan makanan kami benar-benar sudah menipis.

***

“Nah! Karena kau sudah di sini, mari kita mulai perkenalan dirinya,” ucap Tuan muda seraya menyatukan kedua telapak tangan begitu aku baru saja memasuki ruangan.

“Saya kira Anda sudah mulai sejak tadi,” sahutku memberikan respons acuh tak acuh sambil menata meja.

Lagi pula untuk apa menungguku? Aku ini bukan siapa-siapa, hanya seorang pelayan.

Melihat pria berkacamata yang tak bisa duduk dengan tenang membuatku ikut merasa kikuk. Entahlah. Apa mungkin dia sengaja bersikap seperti itu agar tidak terlihat seperti iblis? Untuk menyembunyikan jati dirinya, begitu? Yang benar saja! Seharusnya dia sudah tahu bahwa apa yang dilakukannya hanya akan menjadi sia-sia jika sudah berhadapan langsung dengan Tuan muda. Sejak dia bersama majikannya menginjakkan kaki di sini, seberapa bagus kemampuannya dalam menyamar, tidak akan bisa mengelabui kedua mata si pemilik kastel.

Lihat selengkapnya