“Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Froides kepada anak lelaki bertopi merah yang kubawa beberapa menit lalu dari taman. Usianya mungkin tak jauh di bawah Tuan muda. Mungkin hanya berbeda sekitar satu atau dua tahun. Jika dihitung sesuai dengan usia manusia biasa tentunya.
Anak lelaki bertopi merah itu tak langsung menjawab. Netranya kini hanya terfokus pada satu arah, yakni Tuan muda. Penampilannya yang mencolok selalu menjadi pusat perhatian bagi siapa pun yang baru pertama kali melihatnya.
“Kau mengenalnya?” tanya Tuan muda malas. Sepertinya ia kesal karena ternyata masih ada satu lagi tamu tak diundang.
Froides melirik Tuan muda sebentar lalu menjawab, “Sebelum ke sini aku sempat bertemu dengannya. Tapi aku tidak benar-benar mengenalnya. Sungguh!”
Jadi, yang mana? Kenal atau tidak? Dari sikap yang ditunjukkannya jelas-jelas Froides seperti mengenali anak lelaki bertopi merah itu.
“Sebelum ke sini aku dan Minuit mengunjungi sebuah kafe lalu bertemu dengannya. Dia terlihat sangat lapar. Karena itu aku memberinya beberapa potong roti. Hanya itu! Aku tak tahu kalau anak ini akan mengikutiku sampai ke sini,” jelas Froides cukup cepat. “Kau tak tahu kalau anak ini mengikuti kita?” Kini ia beralih bertanya kepada pelayannya.
Iblis bernama Minuit itu membetulkan tata letak kacamatanya kemudian menjawab, “Sebenarnya saya menyadarinya, tapi saya juga tidak mengira kalau dia akan ikut terseret masuk ke kastel ini.”
Froides mendesah. Tatapannya ia kembalikan kepada anak lelaki bertopi merah itu. “Aku, kan, sudah bilang tidak bisa menemanimu. Aku punya pekerjaan penting,” katanya.
“Aku juga sudah bilang kalau aku tidak mau sendirian. Aku sudah tidak memiliki siapa-siapa lagi. Memangnya kau tidak kasihan?”
Woah! Ternyata anak kecil itu pintar juga bicara.
“Bukan masalah kasihan atau tidak,” Froides mendesah lagi, “aku tak bisa membiarkan anak kecil sepertimu hidup bersamaku. Dengar! Sekarang saja aku mau menumpang di tempatnya,” katanya sambil mengarahkan telunjuk kepada Tuan muda.
“Kalau begitu kau bisa memohon kepadanya agar mengizinkanku tinggal di sini, ‘kan?”
Tak hanya pandai bicara, dia juga tak memiliki rasa sungkan.
“Kau tidak tahu dia. Meski penampilannya manis begitu, dia itu suka makan orang.” Kata-kata Froides kali ini hampir membuatku menyemburkan tawa. “Kalau lapar dia akan memanjangkan taring-taringnya lalu mencari mangsa.”
Sekilas kulirik Tuan muda dan mendapati dirinya tengah memasang wajah cemberut yang mengerikan.
Anak lelaki bertopi merah itu memandang Froides skeptis. Kemudian ia lanjut berkata, “Kau pikir aku ini anak kecil?”
“Kau memang anak kecil!” geram Froides. “Pokoknya, kau harus pulang sekarang! Kau tidak boleh berada di sini! Minuit yang akan mengantarmu.”
“Bisa berhenti sebentar?” Tuan muda mengangkat tangan. “Aku tidak peduli apa hubungan kalian dan aku juga tidak ingin tahu. Tapi, ini kediamanku. Jadi, bersikaplah layaknya seorang tamu—meski aku sendiri tak menganggapnya begitu.”
Ucapan Tuan muda rupanya telah membuat perhatian anak lelaki bertopi merah itu teralihkan. Ia kini menatap lurus Tuan muda tanpa takut. Biasanya, siapa pun orangnya, baik dewasa atau anak-anak, tidak memiliki keberanian yang cukup besar untuk bertatapan langsung dengan seorang Licht Dunkelheit.
“Kau akan mengizinkanku tinggal di sini, ‘kan?” tanya anak lelaki bertopi merah itu.
Tuan muda mengedikkan tubuh lalu balas bertanya, “Apa yang membuatmu berpikir begitu?”
“Aku sudah dengar desas-desus tentang kastel ini. Kalau kau membiarkanku pergi, aku bisa saja memberi tahu semua orang kalau yang tinggal di sini hanyalah seorang anak kecil. Jika sudah begitu, tidak ada lagi orang yang takut memasuki tempat ini, bukan? Kau pasti tidak mau tempatmu diacak-acak oleh orang, ‘kan?”
Anak ini benar-benar sesuatu.
Namun, seperti tak mau kalah dari bocah di lurusannya Tuan muda mulai menampakkan senyum khasnya. Setelah mencondongkan sedikit tubuh ia kemudian berkata, “Apa yang membuatmu berpikir kalau aku akan membiarkanmu pergi begitu saja?” Lawan bicaranya kini terdiam. “Seperti yang dikatakan ‘kakak’-mu barusan—”
“Hei! Aku bukan kakaknya!”
Tuan muda tak memedulikan protes pria berambut keriting di hadapannya. Ia lantas lanjut berkata, “Aku ini memang suka-makan-orang. Aku tak akan membiarkan seseorang yang sudah dengan lancang memasuki kediamanku pergi begitu saja.”
“Ayo, Licht! Aku ingin melihat pertunjukan yang menarik!” Kalten yang sejak tadi diam pun kini ikut bersemangat.
Aneh sekali. Anak kecil bertopi merah itu malah tak terlihat ketakutan sedikit pun.
“Kau boleh tak percaya, tapi aku mengatakan yang sebenarnya,” imbuh Tuan muda yang kemudian mengangkat cangkirnya dan menyadari bahwa sudah tak ada sedikit pun yang tersisa dari minuman favoritnya itu.
“Kalau begitu ...” Sepertinya anak itu masih berusaha. “Dia yang akan melindungiku,” katanya sembari mengarahkan telunjuknya kepada Froides.
“Hah?! Aku?” Froides memekik.
“Kau tega melihat anak kecil sepertiku dimakan olehnya?”
Baiklah, aku mulai menyukai anak kecil ini.
“Kau tidak benar-benar akan melenyapkannya, ‘kan?” Froides beralih dan bertanya kepada Tuan muda. Sayangnya, Tuan muda hanya mengangkat bahu.
“Tentu saja dia serius! Iya, kan, Licht?” Kurasa Kalten semakin berapi-api. Dia benar-benar haus akan pertunjukan yang menarik.
“Untuk apa Anda repot-repot mengurusi anak kecil ini, Seigneur Licht?” Bahkan iblis bernama Minuit itu pun ikut tidak sabar. “Menangkap lalat saja saya yakin dia tidak bisa,” imbuhnya.
Jadi intinya kau ingin Tuan muda membiarkannya begitu saja?
Tuan muda turun dari kursinya dan berjalan menuju pintu. “Aku sedang tidak ingin “makan”. Kalaupun ya, aku tidak akan memilih anak kecil seperti dia.” Jadi …? “Siapa namamu, Anak kecil?”
“Kau juga, kan, anak kecil,” gerutu anak lelaki bertopi merah itu. “Namaku Bill.”
“Kau kuizinkan tinggal di sini, tapi sebagai budak. Karena itu, kau harus ikut membantu Nacht mengerjakan semua tugasnya,” ucap Tuan muda yang lebih menyerupai perintah.
“Jadi kau akan membiarkannya begitu saja, Licht?” tanya Kalten yang sama sekali tak digubris oleh Tuan muda. Sekarang saja Tuan muda sudah melangkahkan kaki meninggalkan ruangan. “Tidak seru!” gerutu Kalten yang kemudian lebih memilih menghilang di udara.
Jadi, pada akhirnya akulah yang bertanggung jawab atas mereka? Padahal tanpa adanya anak kecil bernama Bill ini, aku sudah terbiasa mengerjakan semuanya sendiri. Tuan muda memang suka sekali membuat keputusan seenaknya.
Aku pun berbalik menghadapi ketiga tamu yang mulai saat ini resmi menjadi anggota penghuni kastel milik Tuan muda. “Saya akan menunjukkan beberapa kamar yang bisa Anda sekalian tempati. Jadi, silakan ikuti saya,” kataku sembari memandu ketiga orang itu meninggalkan ruang kerja Tuan muda.
***
“Apa tidak apa-apa membiarkan mereka tinggal di sini, Tuan muda?”
Kuambil pakaian tidur berwarna biru tua untuk dipakaikan kepada Tuan muda malam ini. Semoga dia tidak memprotes, karena semua pakaian tidur serba hitamnya sudah kumasukkan ke mesin cuci. Sebenarnya aku sudah berniat menyelesaikan pekerjaan rumah tangga yang satu itu sejak beberapa hari yang lalu. Namun, karena cuaca yang tidak mendukung akhirnya niatku itu tak dapat terlaksana. Semoga saja besok matahari akan muncul.