Oleh: Rosenwasser
Lagi-lagi aku bertingkah seperti seorang pencuri. Mengamati kediaman seseorang dari sebuah restoran sambil berharap sikapku tidak terlihat mencurigakan. Kenapa aku memilih hari ini untuk kembali memperhatikan kastel hitam itu, ya? Kenapa tidak pada hari-hari sebelumnya saja? Entah apa yang terjadi kepadaku hingga beberapa hari ini lupa bahwa ada sebuah tempat menyeramkan yang sebelumnya sangat menarik perhatianku.
Ya! Kastel hitam di Lutherstadt.
“Kukira restoran ini tak akan buka dalam waktu yang cukup lama. Apalagi setelah kejadian mengerikan itu.” Pria yang duduk di seberang mejaku mulai bicara dengan teman wanitanya. Aku tak bermaksud menguping, tapi salahnya sendiri yang tidak bisa mengontrol suara.
“Ya, ya! Aku juga mengetahuinya dari televisi. Mayat yang tergantung di depan jendela itu, ‘kan?”
Kulihat pria itu menganggukkan kepala.
“Sudah pasti demi kepentingan bisnis. Mau tak mau restoran tetap harus buka jika tak mau berakhir bangkrut. Iya, kan?”
“Sepertinya begitu.” Pria itu mengangguk lagi. “Jadi, kasus pembunuhan?”
“Pasti begitu! Tapi pelakunya sengaja tak disebarkan oleh pihak kepolisian. Kau tahu, aku sempat tak ingin menerima ajakanmu untuk makan di sini. Tapi karena kopinya yang sangat enak mau tak mau aku mengalah.”
“Yah, lagi pula peristiwanya sudah berlalu. Jadi tak ada yang perlu kita khawatirkan.”
Apa, sih, yang sedang mereka bicarakan? Memangnya ada kasus apa selagi aku tak datang ke restoran ini?
Daripada itu, aku tak boleh mengalihkan perhatianku dari kastel hitam di seberang sana. Sungguh, aku tidak bermaksud untuk menyelidiki apa yang ada di kastel itu. Hanya saja, aku masih penasaran pada seseorang di dalam sana. Seseorang yang wajahnya sama persis seperti kakakku yang telah menghilang. Satu hal lagi yang membuatku bertanya-tanya, apakah orang itu ada kaitannya dengan wanita yang dikabarkan menghilang beberapa waktu lalu? Wanita yang kulihat berjalan bersamanya memasuki sebuah hotel? Siapa namanya … ah, ya! Angie kalau tidak salah.
Ah! Seseorang keluar dari sana!
Tanpa sadar aku telah beranjak. Beberapa pasang mata secara otomatis melirik ke arahku. Langsung saja kuturunkan tubuh dan kembali berpura-pura menikmati minuman. Tak apa. Lagi pula, orang yang keluar tadi bukanlah orang yang kucari. Tubuhnya tidak setinggi itu. Tapi, siapa dia? Memangnya ada berapa banyak orang yang tinggal di dalam sana?
“Guten morgen!”1
Aku dikejutkan oleh seorang pria berpakaian rapi yang tiba-tiba menyapa dan tanpa sungkan langsung mengambil tempat duduk tepat di hadapanku. Di mejaku.
Mau apa orang ini mendatangiku? Apa dia bermaksud menggodaku? Tapi tidak mungkin, ‘kan? Mana ada lelaki waras yang akan menggoda gadis berpakaian kegerejaan lengkap sepertiku. Ya! Tidak seharusnya aku berburuk sangka.
“Ah, guten morgen! Ada yang bisa saya bantu?” tanyaku meski sedikit enggan.
“Saya tidak bermaksud mengganggu Anda, Suster. Tapi sebelum ini saya pernah melihat Anda,” akunya yang tentu saja kontan membuatku bertanya-tanya.
Dia pernah melihatku? Di mana? Wajahnya memang cukup familier, tapi aku tak yakin pernah bertemu dengannya. Ah! Mungkin yang dimaksudnya pernah melihatku ketika kami bertemu di gereja. Bisa jadi dia salah satu jemaat di tempatku.
“Ah! Anda pasti melihat saya di gereja,” terkaku.
Tebakanku malah membuatnya tergelak. Jujur, tingkahnya sekarang membuatku sedikit tersinggung.
“Oh, tidak, Suster. Saya bukan orang yang cukup taat hingga rajin ke gereja. Lagi pula saya tidak tahu Anda berada di gereja mana,” sangkalnya setelah menghentikan tawa.
“Jadi …” Apa yang sebenarnya diinginkan orang ini?
“Saya juga melihat Anda di sini beberapa waktu lalu. Duduk di tempat yang sama, juga melakukan hal yang sama,” tuturnya yang membuatku semakin penasaran.
“Eum … sepertinya Anda salah orang,” kataku seraya beranjak. Orang ini sangat mencurigakan. Lebih baik aku cepat pergi dari sini dan kembali ke gereja.
Namun, tepat ketika hendak meraih tas dan keluar dari meja dia kembali berkata, “Saya bisa melihat kalau sejak Anda masuk ke sini Anda tak henti-hentinya memperhatikan kastel itu.”
Dia tersenyum sembari mengedikkan kepala ke kastel hitam di seberang sana. “Bisa kita bicarakan ini lebih lanjut?” tanyanya yang membuatku mau tak mau kembali duduk dan mengurungkan niat untuk cepat-cepat pergi.
Akan berbahaya jika orang ini ada hubungannya dengan kastel itu. Lebih buruk lagi jika ternyata dia adalah salah satu dari penghuninya. Dan, jika aku ketahuan sudah beberapa kali mengintai kediamannya, dia bisa saja melaporkanku ke polisi. Ini gawat! Jika sudah melibatkan kepolisian sudah pasti gereja St. Mary pun akan ikut terlibat. Memikirkannya saja sudah membuatku ketakutan.
Aku tak tahu apa yang sebenarnya diinginkan orang ini dariku. Inginnya, aku segera lari dan meninggalkan tempat ini. Namun, jika kulakukan itu hanya akan membuatnya semakin curiga. Dan lagi, wajahnya benar-benar sangat familier. Biar kuingat-ingat lagi.
Sebelum sempat menggali ingatanku dia kembali membuka suara. “Saya bukan orang jahat. Saya juga tidak bermaksud mengganggu hari santai Anda. Saya hanya ingin menanyakan beberapa hal.”
Bagaimana ini? Sepertinya dia benar-benar salah satu penghuni kastel hitam itu!
“Anda tak perlu setegang itu,” katanya diiringi tawa seolah ingin mencairkan suasana. “Ah! Anda akan mengingat saya ketika melihat ini,” katanya yang kemudian mengeluarkan selembar brosur dari dalam kantong celana.
Brosur dari toko elektronik?
“Seharusnya itu bisa membantu,” katanya menunjuk brosur yang sudah berada di tanganku sambil mengerlingkan sebelah mata.
Sebaiknya kucermati lagi baik-baik brosur ini.
Tunggu dulu! Sepertinya aku tahu brosur ini!
“Ah!” Tanpa sadar aku telah memekik. Tepat setelah semua ingatan itu kembali. Tentang aku yang mengintai kastel hitam di seberang sana, tentang dua pria di dalam mobil yang juga melakukan hal yang sama, juga tentang brosur yang menjadi penghalang antara aku dan pria di depanku sekarang pada hari itu.
“Melihat Anda memelotot begitu saya yakin kalau Anda sudah mengingat betul siapa saya,” katanya yang seketika membuatku tersadar kalau sejak tadi telah diperhatikan.
Padahal aku yakin sudah sangat berhati-hati, tapi ternyata dia menyadari keberadaanku hari itu. Namun, meski masih merasa malu karena telah kepergok, aku sedikit merasa lega karena sekarang benar-benar yakin bahwa pria di hadapanku ini bukanlah salah satu dari penghuni kastel hitam.
“Untuk membuat Anda merasa lebih tenang saya akan memperkenalkan diri secara resmi. Nama saya Nord,” katanya seraya merogoh sesuatu dari dalam saku jas. “Dari kepolisian,” lanjutnya setelah mengeluarkan sebuah lencana berlapis emas yang terlihat sangat mencolok. Tidak sulit bagiku untuk mengetahui bahwa lencana tersebut adalah milik anggota kepolisian.
“Saya kira Anda salah satu dari penghuni kastel itu,” desahku mengembuskan napas lega.
Sebentar! Belum saatnya untuk merasa lega!
"A-apa saya melakukan kesalahan?” Takut-takut aku bertanya.
Mengamati kediaman seseorang secara berkala? Tentu saja masuk ke dalam tindak kriminal. Kalaupun tidak, sudah cukup pantas untuk dicurigai. Apa dia hendak menegurku karena itu?
Pria di hadapanku ini tiba-tiba tertawa; menunjukkan deretan giginya yang rapi dan putih. Sekaligus mencairkan suasana tegang di antara kami. Kendati demikian, perasaanku masih tak keruan. Takut kalau tiba-tiba dia kembali memasang wajah garang dan mulai menanyaiku macam-macam.
“Kenapa Anda berpikir begitu, Suster?” tanyanya setelah berhenti tertawa.
Bahuku sedikit mengendur. “Wajar, ‘kan? Tiba-tiba ada seorang polisi yang mendatangi dan memergoki saya sedang memperhatikan kastel di seberang sana. Tentu saja saya akan langsung berpikir demikian.”
Petugas polisi bernama Nord itu pun menyandarkan punggungnya ke kursi; memperlihatkan sikap jauh lebih santai daripada sebelumnya. Kemudian ia mulai berkata, “Kalaupun ya, kastel itu pengecualian.”
“Kenapa?” Aku langsung bertanya.
“Karena kastel itu memang mencurigakan,” jawabnya yang kontan membuat keningku berkerut. “Omong-omong, Anda pernah melihat pria yang baru saja keluar dari kastel itu sebelumnya?”
Pria tinggi tadi? Segera aku menggeleng dan menjawab, “Tidak. Baru kali ini saya melihatnya.”
“Hm … saya juga,” katanya dengan kening berkerut cukup dalam. “Padahal waktu itu saya tak melihatnya. Apa dia penghuni baru, ya?” Hah? “Ah, iya! Boleh saya tahu nama Anda?”
Aku berpikir sejenak. Tidak ada salahnya memberi tahu namaku kepada seseorang yang baru dikenal. Apalagi dia dari kepolisian, ‘kan?
“Nama saya Rose, Inspektur,” kataku.
“Oh, saya belum pantas disebut inspektur. Anda boleh memanggil saya Nord, Suster.”
Ucapannya kontan membuatku tersenyum. “Kalau begitu, Anda juga boleh memanggil saya Rose, Tuan Nord. Saya juga belum pantas disebut suster karena saya masih postulat,” jelasku.
“Jadi Anda belum mengucap sumpah?” tanyanya seraya menegakkan tubuh.
Kugelengkan kepala sebagai jawaban.
“Kalau begitu Anda harus berhati-hati. Jangan sampai bertemu pria tampan dan jatuh hati. Bisa menghilangkan niat Anda untuk menjadi suster.”