SANG PELAHAP JIWA #2 DANAU HITAM

Emma Susanti
Chapter #6

BAB V PEMILIK SEBELUMNYA KASTEL HITAM

Oleh: Nord Adalwen


Kuputuskan tak makan siang dan hanya memesan secangkir kopi pahit untuk menemani waktu istirahat. Nafsu makanku belum juga kembali sejak peristiwa itu. Peristiwa tak masuk akal yang seharusnya bisa membawa kami—aku dan Inspektur Recht—pada satu kemungkinan yang bisa menyelesaikan kasus hilangnya Angie Becker. Peristiwa yang akhirnya malah membuatku seperti orang bodoh yang terlalu banyak mengkhayal.

Peristiwa tak masuk akal yang pertama adalah kastel hitam milik Licht Dunkelheit yang sempat hilang dan sekarang kembali muncul. Awalnya Inspektur Recht sama sepertiku; menyadari hilangnya kastel hitam itu. Namun, ketika kastel hitam itu kembali muncul Inspektur Recht malah menyatakan bahwa kastel itu tak pernah ke mana-mana; selalu ada di tempatnya sebagaimana mestinya. Padahal jelas-jelas dia sama kesalnya denganku waktu itu; waktu kami menyadari sama-sama tak bisa menemukan keberadaan kastel itu. Bahkan, ia sempat berkata akan langsung mendatanginya ketika kastel itu kembali ke permukaan. Namun, nyatanya Inspektur Recht seperti terlupa.

Kedua, Nacht si pelayan yang kami curigai ada sangkut pautnya dengan hilangnya Angie Becker. Di mana Nacht ditemukan sedang beradu mulut dengan mantan kekasih korban dan terekam jelas kamera pengawas di salah satu supermarket di kawasan Lutherstadt. Namanya bahkan tercatat di buku kerja petugas keamanan di sana. Namun, anehnya ketika kastel hitam itu kembali muncul dan aku mengusulkan kepada Inspektur Recht untuk langsung mendatangi Nacht si pelayan sekaligus meminta keterangan darinya, Inspektur Recht malah menunjukkan raut wajah bingung. Katanya, hilangnya Angie Becker tidak meninggalkan saksi atau bukti apa pun. Inspektur Recht bahkan menegaskan bahwa peristiwa semacam itu tidak pernah ada. Tidak pernah ada hari di mana mantan kekasih Angie Becker dan Nacht si pelayan bertengkar. Tak pernah ada pula catatan yang menunjukkan bahwa nama Nacht si pelayan tertulis di sana.

Bagaimana bisa? Padahal jelas-jelas aku mengingatnya!

Sudah tentu aku tak percaya begitu saja. Oleh karena itu, kuputuskan untuk kembali mencari tahu yang sesungguhnya. Kudatangi supermarket itu, menanyai petugas keamanan bernama Pepin Weber yang mencatat nama Nacht di buku kerjanya, dan tak lupa memutar kembali rekaman di hari Nacht dan mantan kekasih Angie Becker beradu mulut. Namun, hasilnya benar-benar nihil! Tak ada apa pun! Saat di mana aku dan Inspektur Recht menyaksikan semua bukti-bukti itu seolah berubah menjadi sebuah ilusi. Ilusi yang hanya diingat olehku. Apa yang sebenarnya terjadi?

Aku tak mungkin meragukan ingatanku yang sangat tajam—apalagi mengenai pekerjaan. Namun, setelah “menghilangnya” semua bukti secara tiba-tiba aku jadi ragu. Mungkinkah memang ada yang salah dengan kepalaku? Mungkinkah aku hanya bermimpi? Tapi bagaimana mungkin ada mimpi sejelas itu? Aku bahkan masih bisa merasakan bagaimana semangatnya diriku ketika tahu bahwa kami menemukan sebuah petunjuk. Ini sungguh aneh dan tak masuk akal!

Percuma jika aku masih bersikeras dengan semua ingatan yang ada dalam kepalaku. Biar bagaimanapun, semua bukti memang telah lenyap tak berbekas. Seolah benar-benar tak pernah terjadi. Meski tak bisa mengakui, semua orang di sekitar seolah memaksaku untuk menerimanya dengan lapang dada. Maka, aku pun tak bisa berbuat apa-apa. Oleh sebab itu, aku kehilangan semangat dan nafsu makan. Kalau akhirnya jadi begini, lebih baik tidak ingat saja sekalian. Dengan begitu aku tidak akan dikira tak waras.

“Kenapa tidak pesan makanan?”

Tepukan Sam di bahuku membuatku hampir melonjak. Dia memang suka begitu, mengejutkanku dengan kedatangannya yang tiba-tiba.

“Masih tidak nafsu,” jawabku sembari menegakkan tubuh.

“Masih memikirkan tentang itu?” Sam duduk di hadapanku.

Aku memang sudah memberitahunya tentang dua peristiwa tak masuk akal itu, dan dia termasuk ke dalam golongan mereka yang menganggapku “gila”.

“Sudahlah! Berhenti berpikir yang tidak-tidak. Seharusnya kau menikmati hari santaimu seperti Inspektur Recht,” katanya sebelum kembali beranjak untuk memesan makanan.

Karena telah berhasil memecahkan kasus pembunuhan suster kepala beberapa waktu lalu—meski tak bisa dianggap seratus persen selesai, Inspektur Recht diberi izin cuti untuk pulang ke kampung halamannya di ibu kota. Selama ini Inspektur Recht memang hidup terpisah dari istri dan kedua anaknya. Aku juga sempat mendengar selentingan yang mengatakan kalau Inspektur Recht sudah lama tidak pulang. Selama kasus-kasus di Wittenberg belum terpecahkan, Inspektur Recht akan terus mendedikasikan diri untuk pekerjaan. Dia memang orang tua yang keras kepala. Meskipun demikian, kekagumanku terhadapnya tidak akan luntur hanya karena ia lebih sedikit menghabiskan waktu bersama keluarga.

“Kalau kau masih resah, kenapa tidak kau temui saja si pelayan itu?” Sam sudah kembali ke hadapanku dengan membawa secangkir minuman hangat. “Kau, kan, bisa memintainya keterangan,” lanjutnya.

“Jangan bodoh! Mana mungkin aku memintainya keterangan tanpa bukti sama sekali,” bantahku.

“Setidaknya itu akan memuaskan rasa penasaranmu.”

Jika hanya untuk sekadar memuaskan rasa penasaran aku tak akan sefrustrasi sekarang. Aku tak butuh kepastian, karena aku percaya pada ingatanku. Yang kubutuhkan hanyalah bukti; bukti yang akhirnya malah lenyap secara misterius. Ingin kukatakan itu kepada Sam, tapi aku yakin dia hanya akan mentertawakanku. Ia akan semakin menganggapku tak waras.

“Sudah, jangan dibahas lagi.” Aku memilih untuk mengalah. “Daripada itu, dari mana saja kau? Kenapa baru muncul sekarang?” tanyaku yang memang tak melihat batang hidungnya sejak pagi.

“Ikut patroli. Sebentar lagi, kan, natal. Kita harus memastikan seluruh gereja di Wittenberg aman. Jangan sampai ada kericuhan,” jelasnya.

“Natal, ya …. Aku hampir saja lupa,” desahku. “Tampaknya tahun ini pun aku akan menghabiskan malam natal sendirian.”

Sam tergelak. Kalau saja tidak hati-hati, semburan minuman di mulutnya sudah pasti mengenaiku. “Makanya, cepat cari pacar! Jangan terus berkutat dengan pekerjaan!” katanya seolah mengguruiku.

“Mau cari pacar bagaimana? Kau tahu pekerjaanku. Mana mungkin aku punya waktu untuk melakukan hal-hal semacam itu,” gerutuku. “Waktuku sudah habis untuk melakukan penyelidikan kasus-kasus di Wittenberg yang masih juga belum selesai.”

Tiba-tiba tatapan Sam berubah nakal. “Bagaimana dengan wanita yang belakangan ini sering kau temui?” tanyanya yang kontan membuatku memukul kepalanya cukup keras. “Aku, kan, hanya bertanya. Kenapa harus main pukul?!” protesnya.

“Karena kau bertanya yang tidak-tidak. Wanita itu penganut agama yang taat. Tidak lama lagi akan menjadi seorang suster. Jadi mana mungkin aku mendekatinya dengan tujuan seperti itu.”

Meskipun masih seorang postulat Rose sangat mencintai Tuhan. Dia tidak akan meninggalkan Tuhan hanya demi seorang pria sepertiku. Kuakui kalau dia memang cantik dan anggun, tapi mana mungkin aku berani bersaing dengan Tuhan.

Lihat selengkapnya