Oleh: Anonim
Aku sudah tak peduli lagi. Tuhan tak pernah mendengar semua doaku. Orang-orang sekitar tak ada satu pun yang mau membantuku. Kerabat dekatku sudah lama memutuskan hubungan kekeluargaan denganku. Bahkan, istriku sendiri pun lebih memilih untuk pergi mencari kebahagiaannya sendiri. Jika saja aku memiliki segalanya. Jika saja aku tak perlu mengemis ke sana kemari hanya untuk menenangkan perut kami. Jika saja aku tak semiskin ini.
Salahkan kedua orang tuaku yang membuatku menemui takdir sesadis ini. Karena mereka aku tidak bisa hidup seperti orang-orang yang berkecukupan di luar sana. Karena mereka pula aku hanya bisa menikahi seorang wanita bodoh yang juga tak memiliki apa-apa. Meski ternyata dia tak terlalu bodoh karena akhirnya lebih memilih meninggalkanku daripada terus-menerus hidup dalam kemiskinan. Jika diperbolehkan untuk memilih aku lebih baik tidak pernah dilahirkan sejak awal. Untuk apa aku lahir jika takdir terus mencambukku tanpa henti dan tanpa belas kasihan sedikit pun?
Namun, kali ini tidak lagi. Aku sudah muak! Aku bosan hidup seperti ini. Sekali saja aku ingin merasakan kebahagiaan. Dan satu-satunya cara agar aku bisa bahagia adalah dengan menjadi orang kaya. Selama kau punya uang kau bisa memiliki segalanya. Tak peduli bagaimana rupamu uang selalu bisa menjadi solusi utama. Tak perlu lagi berharap wanita bodoh itu akan kembali. Dengan menjadi orang kaya aku bisa mendapatkan wanita mana pun yang kumau.
Tapi, bagaimana caranya aku bisa memperoleh semua itu?
Bekerja seperti orang-orang? Ayolah! Perusahaan mana yang mau memperkerjakan orang yang sama sekali tidak mengenyam pendidikan formal? Menjadi pesuruh? Buruh? Atau budak? Upah yang didapat dari melakukan pekerjaan-pekerjaan semacam itu hanya akan membuatku kembali mengulang luka lama. Juga, tidak akan pernah ada habisnya. Harus berapa puluh tahun baru bisa menjadi kaya hanya dengan melakukan pekerjaan serabutan seperti itu? Bukankah itu juga yang menjadi alasan wanita bodoh itu pergi meninggalkanku?
Namun, di saat aku benar-benar sudah merasa putus asa dan berpikir tak akan pernah ada jalan keluar bagiku untuk meninggalkan kemiskinan, di saat itulah aku mendengar sebuah pembicaraan yang sangat menarik. Pembicaraan yang mungkin dan seharusnya bisa membuat kehidupanku berubah menjadi lebih baik.
“Kau sudah dengar tentang Danau Hitam yang lagi-lagi memakan korban?”
“Ya, aku melihatnya di televisi tadi malam. Aku tak mengerti. Sudah jelas-jelas ada yang tidak beres dengan danau itu. Tapi kenapa masih saja ada orang yang ke sana?”
“Kau pasti belum tahu tentang ini.”
“Tentang apa?”
“Alasan mereka yang sengaja mendatangi danau itu.”
“Alasan? Memangnya alasan apa yang bisa membuatmu pergi ke tempat banyak orang mati seperti itu?”
“Tentu saja ada. Makanya banyak orang yang datang ke sana meski tahu nyawa mereka sendiri yang akan jadi taruhannya.”
“Jangan-jangan kau tahu alasan orang-orang itu! Apa alasannya?”
Si Informan sengaja memberi jeda sebelum menjawab, “Mencari iblis.”
“Iblis?” Temannya yang berkumis tipis itu tampak terkejut.
“Ya, mencari iblis dan meminta sesuatu kepadanya.” Aku begitu tertarik dengan informasi yang satu ini. Informasi yang tak akan kau dapatkan di surat kabar maupun acara berita malam di televisi. Lalu, Si Informan melanjutkan, “Jika kau berhasil bertemu iblis, kesempatan permohonanmu akan dikabulkan sangatlah besar. Tapi ...” Sepertinya dia sengaja ingin membuat temannya semakin penasaran.
“Tapi apa?”
“Tapi akan ada syarat yang diajukan iblis sebelum mengabulkan permohonan manusia. Jika syarat itu berhasil dikerjakan, maka permohonanmu akan menjadi kenyataan. Tapi jika tidak, nyawamulah yang akan diambilnya.”
“Jadi maksudmu ... orang yang mati di sana karena tidak bisa melakukan syarat yang diajukan oleh iblis?”
“Bisa jadi begitu.”
Temannya kali ini tergelak. “Kau terlalu mengada-ada. Cerita semacam itu hanyalah dongeng. Iblis itu tidak benar-benar nyata.”
“Yah, siapa yang tahu?” Si Informan mengangkat bahu. “Tapi perlu kau ketahui kalau yang jadi korban kali ini adalah kenalan tetanggaku. Jadi kebenaran ceritanya tidak mungkin di bawah lima puluh persen.” Kalau memang cerita itu benar, maka ... “Kau mau mencobanya?”
“Aku? Tidak. Kalaupun iblis itu ada, mereka hanyalah makhluk terkutuk yang bertugas menyesatkan manusia. Meski jarang ke gereja, di Alkitab tertulis begitu, ‘kan? Dan lagi, syarat yang diajukan iblis pastilah tidak masuk akal. Tidak sepadan dengan apa yang akan kita dapatkan.”
Bodoh!
Kau bisa bicara begitu karena sudah terbiasa hidup enak. Coba kau berada di posisiku! Kau tidak pernah merasakan bagaimana penderitaan setiap hari bahkan detik menghampirimu. Kau juga tidak pernah tahu rasanya tak dianggap dan diperlakukan seolah tak ada. Kau bahkan tak tahu rasanya mengais sisa-sisa makanan di tempat sampah hanya untuk memuaskan nafsu perutmu.
Ya, saat itu aku hanya bisa mengumpat dalam hati. Namun, kuucapkan terima kasih kepada mereka yang secara tidak langsung telah memberiku jalan keluar. Jika memang Tuhan tidak juga bersedia mengabulkan permohonanku, maka aku akan berbelok. Aku akan mendatangi siapa saja yang bisa membuatku mendapatkan segalanya. Siapa saja! Bahkan, iblis sekali pun.
***
Hanya ada satu jalan agar bisa sampai di Danau Hitam: menyusuri hutan terlarang. Kalau bukan karena banyaknya orang yang meninggal di sana, akses menuju Danau Hitam tidak akan sesulit ini. Aku tidak perlu mengambil jalan memutar hanya untuk memasuki area hutan. Sebelum Danau Hitam menjadi semengerikan sekarang, jalan menuju ke sana tidak dipagari kawat listrik seperti ini. Orang-orang bebas keluar-masuk hutan sesuka hati. Namun karena laporan dari warga sekitar, pihak setempat akhirnya memutuskan untuk menutup akses utama menuju danau tersebut.