Oleh: Minuit
“Anda benar-benar akan tinggal di sini?” tanyaku sembari merapikan tempat tidur.
Sungguh, aku masih dan pasti tidak akan pernah setuju dengan keputusan yang telah Froides ambil. Tinggal di tempat milik manusia yang mungkin paling berbahaya di seluruh dunia, sudah tentu bukan ide yang bagus. Memang, aku bisa melindunginya dari ancaman Licht Dunkelheit. Akan tetapi, yang paling tak bisa kuterima adalah rencananya untuk memanfaatkan kepolosan Froides agar bisa menggunakanku sesuka hati. Kalau saja aku bisa menolak perintah “majikan”, sudah sejak tadi aku membawa Froides pergi dari sini.
“Ayolah, Minuit! Kita sudah berhasil menemuinya. Aku tak akan mungkin pergi begitu saja. Misiku adalah menemukan hal menarik yang tak akan pernah membuatku merasa bosan. Dan satu-satunya yang bisa mewujudkan misiku itu adalah dengan hidup bersama Licht Dunkelheit. Bocah angkuh yang bisa membunuh manusia dengan begitu mudahnya.”
Ya! Bocah angkuh yang juga bisa membunuhmu kapan saja!
Meski jarang meninggalkan dunia iblis, jaringan informasiku cukup luas. Sangat mudah bagiku untuk mendapat informasi tentang segala hal yang terjadi di dunia manusia. Termasuk tentang Licht Dunkelheit. Namanya memang sudah sangat terkenal di kalangan iblis seperti kami. Bahkan, aku sering sengaja menyebut namanya di hadapan Lucifer; berharap Lucifer mau segera mengambil tindakan sebelum Licht Dunkelheit benar-benar berbuat ulah. Siapa yang tahu bahwa mungkin nanti dia akan menjadi seperti iblis tak murni yang mengaku-ngaku dirinya sebagai Gott der Finsternis.1
Memuakkan!
“Apa Anda tidak takut dengan kekuatan yang dimilikinya?” tanyaku seraya bergerak ke sisinya di dekat jendela.
“Untuk apa aku takut? Aku, kan, punya kau,” sahutnya dengan penuh rasa percaya diri.
Haruskah kuingatkan kalau seharusnya dia tidak percaya kepada iblis? Meski kami telah menjalin kontrak bukan berarti aku tidak bisa mengkhianatinya. Biar bagaimanapun, iblis tetaplah iblis. Makhluk yang tak segan-segan mengingkari janji. Tidak terkecuali denganku.
Mungkinkah karena usianya yang baru 16 tahun? Tingkat kewaspadaan yang dimilikinya masih terlalu dangkal hingga membuatnya begitu mudah mempercayai seseorang? Bahkan terhadap iblis sekali pun?
“Apa Anda juga tidak keberatan dimanfaatkan olehnya?” Aku kembali bertanya.
Froides berjalan melewatiku dan menjatuhkan diri ke atas tempat tidur. Lalu dengan tatapan menerawang dia menjawab, “Aku tahu dia hanya memanfaatkanku, Minuit. Tapi jika itu adalah harga yang harus kubayar untuk tontonan yang menarik … apa salahnya?”
Tontonan yang menarik dengan menjadikanku tumbal? Yang benar saja!
“Oh, iya!” Froides tiba-tiba berseru sambil mengubah posisinya ke posisi duduk. “Tugas iblis adalah menyesatkan manusia. Itu sama dengan menghancurkannya secara tak langsung, bukan?”
Apa yang sebenarnya ingin kau katakan?
“Kalau begitu sama seperti bocah angkuh itu. Dia membunuh banyak manusia tanpa pandang buluh. Dengan kata lain, dia juga ikut membantu meringankan tugas iblis. Iya, kan?”
Mendengar ucapannya kontan membuatku mendengkus. “Kalaupun bisa dibilang begitu dia tetaplah manusia, Mon seigneur.2 Tugas iblis yang dikerjakan oleh manusia hanya membuat nama kami tercoreng. Itu bukanlah sesuatu yang dapat kami banggakan. Itu adalah sebuah penghinaan,” tuturku mengepalkan kedua tangan.
“Bukankah kau yang bilang sendiri kalau rajamu saja mengabaikan semua yang dilakukan oleh Licht? Itu berarti secara tak langsung dia telah menyetujui semua tindakannya, bukan?”
Benar!
Itu juga yang sering kutanyakan dalam hati. Mengetahui Licht Dunkelheit berbuat seenaknya, kenapa Lucifer tak kunjung turun tangan? Dia hanya duduk diam sambil memperhatikan. Begitu juga terhadap iblis tak murni itu. Kalau saja Lucifer mau mengambil tindakan, aku tak akan terjun ke dunia manusia seperti sekarang.
“Aku jadi penasaran, bagaimana bisa Licht memiliki kekuatan semacam itu?” tanya Froides mengubah arah pembicaraan.
“Bukan hanya Anda, saya juga sangat ingin tahu kenapa manusia seperti dia memiliki kekuatan yang tak biasa,” desahku.
“Jadi, memang tak ada yang tahu?”
Aku mengangkat bahu.
“Bagaimana dengan teman iblismu itu?”
“Kalten?” tanyaku memastikan.
Froides mengangguk.
“Hm … saya rasa tidak.”
Bertemu kembali dengannya hanya membuatku merasa kecewa. Seharusnya selagi berada di dunia manusia dia membantu memulihkan nama baik Lucifer. Bukan malah menjadi budak dari manusia seperti Licht Dunkelheit. Apa yang sebenarnya ada di dalam pikirannya? Apa dia lupa bahwa tidak ada dalam sejarah mana pun iblis mengikuti manusia dengan sukarela seperti yang sedang dilakukannya sekarang?
Itu sangat memalukan!
Setidaknya, aku lebih baik dari Kalten. Mendatangi dunia manusia dan mengikat perjanjian dengan Froides karena mengincar jiwanya. Seperti yang selama ini selalu dan akan terus iblis lakukan. Yah, seperti kata Froides … menyesatkan manusia. Itulah tugas iblis yang sesungguhnya.
“Daripada itu, aku lebih tertarik dengan yang diucapkan Licht di ruang kerjanya tadi.”
Apa itu?
“Tentang bau dan auraku yang katanya mirip iblis. Kau berutang penjelasan itu kepadaku, ‘kan?”
Ah, ya!
“Awalnya saya pikir tidak perlu menjelaskan sedetail itu kepada Anda,” kataku malas. “Tapi karena sekarang Anda sudah bertemu dengan manusia tak biasa yang bisa mencium bau dan melihat aura iblis, saya akan sedikit menjelaskannya.”
“Aura dan bau ‘Si Pengikat Perjanjian’ akan berubah menyerupai iblis yang diikutinya. Tidak terlalu kuat, tapi bisa dengan mudah dirasakan atau dilihat oleh iblis lain. Sebenarnya sangat jarang dan mungkin seharusnya tidak pernah ada manusia yang bisa melihat atau merasakannya. Karena itu saya cukup terkejut ketika Licht Dunkelheit bisa dengan jelas membedakan aura Anda dengan aura manusia biasa pada umumnya,” jelasku sebisa mungkin menggunakan bahasa yang mudah dimengerti.
“Jadi, maksudmu aura dan bauku memang mirip dengan kepunyaanmu seperti yang dikatakan Licht tadi?”
Dengan berat hati kuanggukkan kepala. Jujur, aku enggan mengakui kemampuan Licht Dunkelheit yang cukup mengagumkan itu. Tadinya aku sempat ragu akan kabar yang menyatakan bahwa bocah angkuh itu benar-benar seorang manusia. Bukan jelmaan iblis atau sejenisnya. Namun, setelah bertemu langsung dengannya kemudian memperhatikan aura dan mencium baunya—meski tidak sama dengan yang dimiliki manusia kebanyakan, aku seperti dipaksa untuk mengakui kebenaran akan hal itu. Meski dia memiliki kemampuan layaknya iblis, Licht Dunkelheit tak lebih dari sekadar manusia biasa yang juga bisa meregang nyawa.
Froides mengangguk-anggukkan kepala. Sepertinya ia begitu senang mendapat pengetahuan baru tentang segala hal yang berhubungan dengan iblis. Namun tak lama kemudian ia kembali berseru, “Oh, iya! Memangnya Licht itu benar-benar tidak mengikat perjanjian dengan iblis? Siapa namanya? Ah, ya, Kalten! Mereka tidak terikat kontrak?”
Akan lebih bagus jika memang seperti itu!
“Tidak. Dia berkata jujur,” kataku menggelengkan kepala. “Meski memiliki aura yang tak biasa, dia tetaplah seorang manusia. Dan lagi, setelah memperhatikannya tadi saya juga tak melihat adanya ‘tanda’ di tubuhnya. Saya jadi semakin yakin kalau dia memang tidak mengikat perjanjian dengan iblis mana pun,” lanjutku memberi penjelasan.
“Tunggu sebentar! Tanda? Tanda apa?”
Sial! Seharusnya aku tak banyak bicara.
“Tanda perjanjian dengan iblis, Mon seigneur,” desahku diiringi penyesalan yang mendalam karena telah mengungkitnya. “Si Pengikat Perjanjian memiliki tanda di tubuhnya. Tanda itu dibuat oleh iblis yang menjalin kontrak dengannya. Tanda yang hanya bisa dilihat oleh sesama iblis. Sama seperti yang Anda miliki sekarang.”
“Aku? Kau menandaiku?!” pekiknya menunjukkan raut wajah keberatan.
“Tentu saja. Itu adalah bagian dari perjanjian,” jawabku.
“Kenapa kau tidak memberitahuku?” Froides mulai menelusuri bagian tubuhnya. “Di mana? Kau menaruh tanda itu di mana?” katanya sambil terus memutar kepala.
“Anda tak akan bisa melihatnya, Mon seigneur. Sudah saya bilang kalau yang bisa melihatnya hanyalah iblis.”
Sambil melirikku tajam dengan kedua sudut matanya ia merutuk, “Menyebalkan!”
Kukira dia akan langsung menghentikan percakapan karena kesal. Namun, ternyata Froides kembali menunjukkan sikap kekanak-kanakan.
“Beri tahu aku seperti apa bentuk dan di mana letaknya!” titahnya layaknya bocah berusia di bawah sepuluh tahun.
Sekarang aku benar-benar menyesal karena telah memberitahunya perihal keberadaan tanda iblis itu.
“Tanda itu saya letakkan di leher Anda, Mon seigneur. Lebih tepatnya melingkari leher Anda seperti kalung. Tak ada bentuk khusus. Hanya berisi tulisan yang hurufnya diambil dari huruf-huruf kami,” jelasku berharap bisa segera menyudahi pembicaraan tak penting ini.
“Huruf iblis? Aku baru tahu kalau iblis punya hurufnya sendiri.”
“Bisa dikatakan begitu,” kataku enggan memperpanjang. Lagi pula, entah siapa yang memulai. Aku hanya tahu kalau kami menggunakan huruf-huruf itu sebagai salah satu bentuk komunikasi.
“Seperti kalung, ya …” gumam Froides. “Ada cara supaya aku bisa melihatnya tidak?” Dia kembali menatapku penuh antusias. Rasa kesal yang sempat ditunjukkannya tadi benar-benar telah hilang.
Aku tak langsung menjawab. Jujur saja, aku juga tidak tahu ada atau tidaknya cara bagi manusia untuk melihat tanda iblis. Kalaupun ada kurasa tak akan ada gunanya.
“Ada atau tidak?” desaknya tak sabar.
“Jika disebut ‘cara’ sepertinya tidak tepat. Tapi akan ada waktu di mana Anda bisa melihatnya,” jawabku semakin malas meladeni keingintahuannya.
“Kapan aku bisa melihatnya?” Dia benar-benar tampak sangat penasaran.
Aku menatapnya sejenak lalu menjawab, “Di saat waktu Anda di dunia sudah habis, Mon seigneur.”
Aku serius. Ketika roh meninggalkan jasad, roh itu bisa melihat segala hal. Baik yang kasat mata maupun yang tidak. Itu pun jika roh tersebut tidak langsung dilahap oleh iblis. Kebanyakan dari iblis seperti kami, setelah menyelesaikan perjanjian dengan manusia kami akan langsung melahap jiwanya. Kami tak memberi sedikit pun waktu untuk jiwa itu melakukan hal lain, termasuk melihat tanda iblis di tubuhnya.
“Maksudmu mati?” tanyanya penuh keluguan.
“Bagaimana bisa Anda semudah itu mengatakannya?”
Seolah kau benar-benar tak takut pada kematian.
“Memangnya salah? Pada akhirnya semua manusia akan mati, bukan?”
Sudah pasti begitu.
“Tapi … saat aku mati nanti mungkin aku tak akan punya waktu untuk melihatnya. Kau pasti akan langsung melahap jiwaku,” katanya yang kemudian kembali membaringkan tubuh dan memiringkannya ke sisi kiri; sisi di mana aku tak bisa melihat raut wajahnya. “Sampai aku merasa cukup puas dan terhindar dari rasa bosan, sampai aku berkata ingin mengakhiri semuanya, di saat itulah kau akan mengambil jiwaku.”
“Anda takut?” Aku bisa melihatnya menggelengkan kepala.
“Tidak. Aku tidak takut mati,” jawabnya. “Tapi kalau boleh, sebelum kau benar-benar melenyapkanku aku ingin diberi kesempatan untuk melihat tanda iblis di leherku ini.” Froides menyentuh kembali lehernya; tepat di bagian tanda iblis itu berada. “Aku hanya ingin melihat bukti di mana aku dan kau memang terikat oleh perjanjian. Tidak apa-apa, kan?”
Aku memilih untuk tidak menjawab. Meski dia sudah kembali memiringkan posisi tubuhnya ke sisi asal dan menatapku, aku tetap memilih untuk diam.
“Hm ... jadi kau tak melihat tanda iblis itu di tubuh Licht?”
Aku tak mengira dia akan kembali membahas itu. “Saya tidak melihatnya sama sekali,” sahutku benar-benar sudah bosan melayani setiap pertanyaannya.
“Siapa tahu tanda iblisnya bukan di leher. Bisa jadi di bagian tubuhnya yang lain. Dan mungkin saja tanda iblis itu tersembunyi di balik pakaiannya!”
Meski terlihat bodoh dan polos kuakui kalau Froides cukup pintar dalam hal berpikir. “Tanda iblis memang bisa disematkan di mana saja. Tapi mustahil untuk mengelabui mata kami, Mon seigneur.”
“Maksudmu?” Froides kembali mengubah posisinya ke posisi duduk.
“Mata kami istimewa. Tanda semacam itu bisa kami lihat dengan mudah meski tertutupi berlapis-lapis pakaian,” jawabku dengan harapan Froides tak lagi bertanya ini-itu.
“Begitu, ya.” Lagi-lagi Froides mengangguk-anggukkan kepala. Sepertinya dia tidak akan mengajukan pertanyaan lagi. Namun, tepat setelah berpikir begitu Froides kembali berseru, “Ah, iya! Kalau memang bisa ditempatkan di mana saja kenapa kau menempatkannya di leherku? Kenapa tidak di bagian tubuh yang lain?”
Haah ... kapan sebenarnya dia akan menyudahi semua percakapan “kosong”ini?
Kutarik napas dalam-dalam sebelum menjawab, “Alasan utamanya agar jiwa Anda tidak bisa dicuri iblis lain.” Sebelum Froides sempat menyela aku terlebih dulu melanjutkan, “Anda sudah tahu kalau jiwa Si Pengikat Perjanjian adalah milik iblis yang diikutinya, bukan?” Froides mengangguk. “Meski begitu, bukan berarti jiwa mereka tidak bisa dicuri oleh iblis lain. Di dunia ini berkeliaran iblis-iblis yang haus akan jiwa manusia. Terutama iblis-iblis lemah yang tak bisa mengikat perjanjian dengan manusia. Untuk menghilangkan rasa haus itu mereka mencari manusia yang rapuh, putus asa, sengsara, dan tak berdaya yang bisa dengan mudah mereka santap.
“Menurut Anda apa yang menyebabkan manusia bisa dengan mudahnya memilih untuk bunuh diri? Karena mereka putus asa dan tak lagi memiliki alasan untuk hidup, bukan?” Froides mengangguk lagi. “Lalu ke mana perginya jiwa-jiwa mereka setelah mati? Sementara manusia yang mati karena bunuh diri tidak akan diterima di mana pun. Jiwa mereka akan terus bergentayangan di dunia manusia tanpa bisa pergi ke mana-mana. Jiwa-jiwa manusia itulah yang dicari oleh iblis lemah. Iblis kelaparan yang sangat ingin menyantap makanan ‘istimewa’. Lalu, bagaimana jika tidak ada lagi manusia berhati rapuh yang mudah menjadi mangsa bagi iblis-iblis lemah seperti mereka? Ditambah lagi Licht Dunkelheit yang manusia biasa pun ikut melahap jiwa-jiwa manusia seperti iblis-iblis itu.”
“Maka … tak ada jalan lain selain mencuri jiwa manusia milik sesamanya?” terka Froides.
“Ya! Itu satu-satunya cara bagi mereka.” Kualihkan pandangan dari Froides ke luar jendela yang tertutupi embun. Dari sini aku bisa melihat suasana luar yang sebagian sudah mulai tertutupi oleh salju. “Dulu kami tak terlalu memperhatikan hal itu. Kami mengikat perjanjian dengan manusia dan menyematkan tanda iblis di bagian tubuh mana saja yang kami mau. Tapi, ternyata itu adalah sebuah kecerobohan. Manusia—tidak—mangsa kami akhirnya bisa dengan mudah dicuri oleh iblis lain.”
“Bagaimana cara mereka mencuri jiwa Si Pengikat Perjanjian?”
Aku menoleh sebentar kemudian melanjutkan, “Menghilangkan tanda iblis itu dari tubuh Si Pengikat Perjanjian.”
“Memang bisa?”
Kini aku berbalik sebelum menjawab, “Ya. Menghilangkannya dengan cara memotong bagian tubuh yang terdapat tanda iblis.” Bisa kulihat Froides tengah meneguk ludah sekarang. “Setelah memotongnya kami harus segera membakarnya dengan api iblis. Setelah itu barulah Si Pengikat Perjanjian bisa terlepas dari pemilik sebelumnya.”
“Kalau memang begitu apa bedanya dengan meletakkan tanda iblis di leher? Iblis-iblis kelaparan itu bisa saja memotong leherku, bukan?” tanya Froides yang sepertinya panik karena takut lehernya dipotong iblis lain.
“Mereka tidak akan berani, Mon seigneur. Selain karena tidak mau berurusan dengan iblis sekuat kami, mereka tahu bahwa mencuri jiwa Si Pengikat Perjanjian dengan tanda iblis yang terletak di leher tak akan ada gunanya.”
“Maksudmu? Aku tak mengerti.” Froides menggaruk pelipisnya dengan raut wajah penuh kebingungan.
Aku tersenyum kemudian melanjutkan, “Pertama, hanya iblis-iblis terpilihlah yang bisa menyematkan tanda iblis di leher manusia. Kedua, menghilangkan tanda iblis di leher manusia dengan memotongnya tak akan membuat jiwa Si Pengikat Perjanjian menjadi milik mereka. Jiwanya akan tetap menjadi milik iblis yang mengikat perjanjian dengannya—meski akhirnya jiwa itu hancur dan tak bisa lagi kami lahap. Kalaupun iblis-iblis lemah itu berlaku nekat, kami tak akan membiarkannya begitu saja. Kami akan langsung memburu mereka dan melenyapkannya sebagai ganti jiwa yang telah hancur karena ulah mereka sendiri.”
Sekali lagi Froides meneguk ludah. “Mengerikan,” gumamnya.
“Jadi, Anda tak perlu khawatir, Mon seigneur. Tak akan ada iblis selain saya yang berani menyentuh Anda.”
Sungguh aku tak bermaksud menenangkannya. Aku hanya ingin Froides tahu seberapa besar kekuatanku. Setidaknya, mulai sekarang dia akan berpikir lebih dulu sebelum mengambil tindakan ceroboh seperti mengorbankanku kepada Licht Dunkelheit.
“Daripada itu, Mon seigneur, saya harap Anda bisa sedikit menjaga jarak dari Licht Dunkelheit. Meskipun saya berada di sisi Anda tak menjamin Licht Dunkleheit itu tidak akan melakukan sesuatu yang membahayakan hidup Anda.”
“Aku, kan, sudah bilang kalau—”
“Sesekali dengarkanlah pendapat saya,” kataku yang kini sudah berada tepat di hadapannya.
“I-iya, iya! Cerewet sekali!” gerutunya sebelum kembali berbaring dan memunggungiku.
Ah!
“Ada apa?”
Pertanyaan Froides membuatku kembali menatapnya. Kukira dia sudah tak lagi memperhatikan. Bahkan dia sadar kalau sekarang aku sedang tertarik terhadap sesuatu; sosok yang tengah mendiami puncak kastel hitam ini.
“Anda beristirahat saja, Mon seigneur. Ada yang harus saya lakukan sekarang.”
“Tunggu dulu! Kau mau ke mana?” tanyanya begitu aku membuka jendela dan hendak melangkah ke luar.
Aku berbalik menatapnya kemudian tersenyum. “Mencari informasi,” jawabku sebelum benar-benar pergi meninggalkan ruangan.
***
“Bagaimana? Majikanmu suka kamarnya? Aku tahu si diener3 itu tidak akan pernah mengecewakan tamu,” ucap Kalten berbasa-basi begitu aku menghampirinya.
Iblis memang tidak akan menggigil kedinginan seperti manusia. Akan tetapi, berada di tengah-tengah cuaca seperti ini—dengan salju yang turun begitu lebat—rasanya tidak nyaman untuk berbincang-bincang. Aku tahu aku sendiri yang mendatanginya, tapi apa dia tidak memiliki tempat yang lebih nyaman untuk menyendiri?