Oleh: Rosenwasser
Ada!
Sebelum Nord datang dan memergoki, aku harus secepatnya keluar dari restoran ini. Bukannya tidak suka atau merasa direpotkan, hanya saja aku merasa lebih tenang dan percaya diri jika tidak ditemani olehnya. Apalagi setelah memberi tahu nama kakakku sama seperti nama pelayan kastel hitam itu.
“Jangan gegabah, Rose! Jangan juga mendekati kastel dan penghuninya sendirian. Kita tidak tahu apa yang bisa mereka lakukan kepadamu. Dan lagi, aku merasa kalau kedua penghuni kastel itu sama-sama tidak beres. Mencurigakan!” ujarnya menasihatiku kala itu.
Bukan berarti bebal, aku hanya ingin memastikan bahwa pria yang baru saja keluar dari kastel itu hanya secara kebetulan memiliki wajah dan nama yang sama dengan kakakku. Tidak lebih!
Tanpa mengancingkan mantel kuputuskan untuk mengikutinya dari belakang. Meski udara sangat dingin aku tak ingin kehilangan jejak hanya karena sibuk mengurusi mantel beledu berwarna biru gelap kesukaanku ini.
Pokoknya, sudah kuputuskan!
Kali ini aku akan benar-benar mengajaknya bicara. Karena hanya dengan begitu aku bisa yakin kalau dia benar kakakku atau bukan. Setelah itu, aku akan meninggalkan Lutherstadt dan tidak akan pernah kembali lagi. Aku akan mengunci diri sepenuhnya di gereja.
Tanpa memedulikan asap putih yang mengepul dan keluar dari mulut aku berseru, “Tu-tunggu!”
Sungguh, udara hari ini lebih dingin dibanding hari-hari sebelumnya. Mungkin karena natal yang sebentar lagi tiba.
Ah! Bicara tentang natal membuatku teringat sesuatu. Aku dan rekan-rekan yang lain memutuskan untuk membuat perayaan natal tahun ini berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Kami dan anak-anak panti ingin membuat natal kali ini lebih meriah. Bahkan, kami sudah menyiapkan pernak-pernik dan hiasan untuk digantung di pohon natal sejak jauh-jauh hari. Rencananya besok aku dan Emily akan berbelanja sekaligus membeli berbagai macam hadiah untuk semua anak di gereja kami.
Emily sempat melontarkan candaan kepada Vater Lincoln agar berkostum Santa di malam natal nanti. Tentu saja Vater Lincoln menolak.
“Perut kerempeng begini mana cocok jadi Santa,” katanya.
Alasan konyol! Semua orang tahu kalau tidak perlu berperut buncit hanya untuk menjadi Santa. Dan lagi, bukankah di bagian perut kostumnya sudah ditambahi bantalan agar si pemakai terlihat mirip? Aku yakin alasan Vater Lincoln tidak bersedia hanya karena tidak ingin dijadikan bahan lelucon di depan anak-anak.
Andai saja aku bisa kembali menghabiskan malam natal dengan kakakku … dan andai saja pria di depan itu benar-benar orangnya. Aku tak peduli dengan rupanya yang terlihat lebih muda. Aku juga tak peduli kalau dia adalah salah satu penghuni dari kastel hitam. Aku hanya ingin kakakku kembali. Nacht, satu-satunya kakakku. Akan tetapi …
Ugh! Dia terus saja berjalan tanpa henti. Apa dia tidak mendengar suaraku tadi?
“Tunggu sebentar!” pintaku berteriak lebih kencang; berhasil membuat langkahnya terhenti. “Saya ingin berbicara dengan Anda,” kataku sambil ikut menghentikan langkah meski sedikit menjaga jarak.
Dia masih membelakangiku. Sepertinya dia memang tidak berniat untuk berbalik dan melihatku secara langsung. Apa sebaiknya aku memperkenalkan diri terlebih dulu?
Tidak! Jika langsung memperkenalkan diri dan ternyata dia benar kakakku, aku takut dia akan langsung mengelak; menghindar lalu kembali melanjutkan langkah. Lagi pula bukan tanpa alasan dia meninggalkanku begitu saja di St. Mary, bukan? Jika memang dia bersedia menemuiku dia tidak akan langsung menghilang tepat setelah menitipkanku kepada gereja.
“Maaf, saya sedang terburu-buru,” katanya tanpa sedikit pun menoleh ke belakang.
“Sebentar!” paksaku yang kontan membuatnya mengurungkan niat untuk kembali melangkah. “Saya hanya ingin bertanya.” Aku berjalan melewatinya, kemudian berbalik dan berdiri di hadapannya. Namun, dia masih saja menyembunyikan wajah di balik topi mantelnya yang kebesaran.
Kalau begitu …
“Apa benar Anda bernama Nacht?” tanyaku langsung tanpa perlu berbasa-basi. Takut jika lebih lama mengulur waktu dia akan kembali melangkahkan kaki.
Apa yang kulakukan saat ini mungkin terbilang nekat. Namun, apa boleh buat. Aku harus memastikannya dengan kedua mata kepalaku sendiri. Sampai aku bisa merasa yakin kalau dia bukanlah kakakku. Setelah itu, aku janji tak akan lagi berbuat macam-macam.
“Anda tidak bisa sembarangan menanyai nama orang, Nona,” ucapnya sambil terus berusaha menghindariku. “Maaf, saya benar-benar harus pergi sekarang.”
Jangan pikir kau bisa pergi dariku begitu saja!
Kembali kuhadang jalannya dengan merentangkan kedua lengan. Aku tak lagi peduli akan sikapku yang memalukan ini. Satu hal yang pasti, hari ini, saat ini juga aku harus berhasil menyelesaikan semuanya.
Sepertinya kegigihanku membuahkan hasil. Dengkusan napasnya menandakan bahwa dia sudah menyerah. Sekarang saja dia sudah tak lagi berusaha menghindar. Bahkan, dia berani berdiri berhadap-hadapan denganku. Yah, meskipun masih berusaha menyembunyikan diri di balik mantel berwarna hijau kebesarannya itu.
“Anda seorang suster?”
Ah! Dia pasti bisa melihat pakaianku dengan jelas, apalagi dengan mantel yang tak dikancingkan.
“Saya rasa bukan. Pelayan Tuhan tidak mungkin mengejar-ngejar seorang pria seperti yang sedang Anda lakukan sekarang.”
Hah? Apa? Tunggu dulu!
“Sebentar! Sepertinya Anda sudah salah paham,” bantahku mencoba mematahkan tuduhannya. “Kalau Anda berpikir saya hendak menggoda Anda, Anda salah besar. Dan, ya! Saya benar-benar seorang suster,” jelasku meski tak mengatakan lebih rinci tentang jabatanku yang belum benar-benar menjadi suster dan masih berstatuskan postulat.
Pria di depanku ini tak berkomentar. Namun, aku yakin kalau dia pasti menganggapku yang tidak-tidak. Apalagi tadi dia mengucapkan kalimat dengan nada yang sangat tidak enak didengar.
“Saya hanya ingin memastikan sesuatu,” lanjutku.
“Memastikan sesuatu?” tanyanya mengulangi perkataanku.
Aku mengangguk cepat. “Ya! Hanya itu.”
Lagi-lagi dia tak memberikan komentar apa pun. Oleh sebab itu, dengan keberanian penuh aku kembali berkata, “Sudah berkali-kali saya melihat dan memperhatikan Anda.”
“Memperhatikan saya?”
“Tolong jangan berprasangka buruk dulu!” pintaku. “Saya melakukannya karena wajah Anda mirip sekali dengan seseorang yang saya kenal,” sambungku tak ingin membuatnya semakin berpikiran buruk.
“Lalu?”
“Saya hanya ingin memastikan kalau Anda memang orang yang saya kenal atau bukan.”
Dari balik topi mantel dia terkekeh. “Saya tidak mengenal Anda, Suster. Jadi sudah jelas kalau Anda salah orang,” sahutnya masih tampak enggan menunjukkan wajah.
“Kalau begitu, boleh saya melihat wajah Anda?” kataku tanpa menyembunyikan rasa malu.
“Untuk apa?”
“Menghilangkan rasa penasaran,” sahutku dengan nada bertanya.
“Dan, jika wajah saya benar-benar sama dengan orang yang Anda kenal, apa yang akan Anda lakukan selanjutnya, Suster?”
Aku tak bisa menjawab pertanyaannya.
“Bukan berarti saya akan langsung menjadi orang itu, bukan?”
Dia benar!
“Dan lagi, seharusnya Anda sadar kalau sudah salah orang setelah bicara langsung dengan saya. Saya yakin kalau cara bicara saya dan orang yang Anda kenal sangatlah berbeda. Benar begitu, bukan?”
Seketika aku meneguk ludah; menelan bulat-bulat kebenaran yang baru saja dituturkan olehnya. Apa yang dikatakan oleh pria di hadapanku ini memang benar. Cara bicaranya dengan Nacht kakakku sangatlah jauh berbeda. Meski sudah bertahun-tahun terpisah aku yakin kalau kakakku tidak akan pernah melontarkan perkataan sekasar ini, terlebih lagi terhadap seorang wanita. Meski begitu, tetap saja aku masih merasa belum puas.
“Saya tidak akan mengelak. Semua yang Anda katakan memang benar. Cara bicara kalian memang sangatlah berbeda. Tapi,” aku berjalan mendekatinya selangkah demi selangkah, “saya tetap merasa penasaran jika belum melihat langsung wajah Anda.”
Aku bisa mendengarnya mendesah.
“Di dunia ini banyak orang memiliki wajah yang sama, Suster. Untuk apa bersikeras melihat wajah saya jika sudah dapat dipastikan kalau saya bukanlah orang yang Anda maksud?”
Semakin dia menolak, semakin menguat pula rasa penasaran yang kurasakan. Aneh sekali melihatnya bersikeras untuk tidak menampakkan wajah. Padahal hanya dengan begitu urusan kami bisa segera selesai.
“Anggap saja dengan begitu Anda telah menolong saya,” kataku tak mau kalah.
Untuk ke sekian kalinya dia terdiam. Mungkin sedang kembali mencari-cari alasan.
“Kalau begitu, setidaknya Anda bisa memberi tahu saya siapa orang yang Anda maksud sampai membuat Anda bersikeras seperti ini.”
Kali ini giliranku yang dibuat tak bisa berkata-kata. Terlebih lagi setelah dia menambahkan, “Anda harus berkata jujur, Suster. Anda tidak boleh berbohong hanya dengan tujuan untuk bisa melihat betul-betul wajah saya. Tuhan sendiri yang akan menjadi saksinya.”
Pintar!
Dia berhasil membuatku kembali meneguk ludah. Hanya nama Tuhan yang membuat kami, para pengabdi setia-Nya tidak berani untuk tidak berkata jujur. Berbohong demi mendapatkan sesuatu sebagai imbalan sudah jelas tidak diperbolehkan.
Tapi, sesekali ... bukan! Hanya kali ini saja ... tidak apa-apa, 'kan? Tuhan Maha Pengampun, bukan?
Lagi pula apa yang kulakukan sekarang bukanlah tindak kejahatan. Aku hanya ingin memastikan dia kakakku atau bukan. Itu saja!