Teriakan bercampur tawa menggelegar ke angkasa. Namun, ia tetap bergeming. Wajahnya masih terlihat datar setelah melakukan "ritual" itu. Di bibir mungilnya yang tadi sempat tersungging sebuah senyuman, kini telah menghilang dan digantikan oleh decak kesal.
"Membosankan," keluhnya setelah suara itu benar-benar menghilang ke udara.
Mungkin, semua yang dilakukannya selama ini telah membuatnya terbiasa. Mungkin juga, dia memang sudah tidak memiliki belas kasihan sehingga membuatnya mudah saja mencabut nyawa seseorang. Namun, bukankah hal “seperti ini” tidak bisa dianggap sebagai hal yang biasa? Tentunya, oleh kebanyakan orang pada umumnya. Juga, seusianya.
Kini, dia mulai melangkah. Meninggalkan "panggung" kecil yang secara tak sengaja ia buat. Ritualnya kali ini memang tidak direncanakan sebelumnya. Bahkan, sebenarnya, selama beberapa bulan ke depan ritual semacam ini tidak perlu dilakukan. Namun, salah gadis itu sendiri yang dengan seenak jidat dan tanpa diundang memasuki daerah teritorialnya. Membuat dia merasa kesal hingga harus "memakan"-nya.
"Apa kita perlu mengunci pintu rapat-rapat agar tak ada lagi orang yang bisa masuk ke sini?" tanyaku seraya berdiri tepat di belakangnya.