Oleh: Nord Adalwen
Sebuah kastel berwarna hitam berdiri tegak di pinggiran jalan besar Lutherstadt. Tak ada satu pun yang tahu ada apa di dalam sana. Tak ada satu pun juga yang tahu ada atau tidaknya kehidupan di dalam sana. Namun, sebuah kabar menyatakan bahwa siapa pun yang masuk ke sana tidak akan pernah bisa keluar lagi.
Benarkah begitu? Aku tak tahu.
Namaku Nord Adalwen. Anak buah dari Kepala Penyidik terkenal yang kini tengah ditugasi untuk menyelidiki kasus yang akhir-akhir ini telah meresahkan warga Wittenberg. Sebuah kasus yang menyebabkan hilangnya beberapa orang di kota ini. Tak hanya itu, banyaknya orang yang melakukan bunuh diri belakangan ini pun telah menjadi sorotan yang secara otomatis menjadi momok menakutkan bagi seluruh warga di sini.
Hatchii!!
Bersin yang sudah tak dapat lagi ditahan membuatku melirik ke sebelah. Dan, benar saja kalau Inspektur Recht―atasanku―kini tengah menatapku tajam. Bibirnya mengerut seolah mencibir kelemahanku terhadap udara dingin.
"Maaf," ucapku seraya menarik kembali lendir yang hampir keluar dari dalam hidung.
Sudah berjam-jam kami menunggu di dalam mobil seperti ini. Kedinginan sambil terus-menerus memperhatikan kastel tinggi yang berada tepat di seberang kami. Meskipun sudah memakai berlapis-lapis mantel, serta menutup jendela mobil rapat-rapat, angin dingin dari luar sana tetap saja bisa menyelinap masuk dan berhasil membuatku menggigil. Inginnya, di hari-hari libur seperti ini, aku berdiam diri di rumah sambil menikmati secangkir teh di bawah selimut di dekat perapian. Bermalas-malasan seperti seorang pengangguran.
Tapi nyatanya ….
Kalau saja bukan karena kasus itu, aku tidak akan mau melemburkan diri di cuaca sedingin ini. Bukan. Aku bukannya tidak peduli. Tentu saja aku juga ingin secepat mungkin menyelesaikan kasus itu dan menghapus ketegangan yang akhir-akhir ini melanda warga kota. Namun, tetap saja, aku tidak tahan berada di dalam cuaca seperti ini. Aku benci dingin!
"Kau tahu kenapa aku mengajakmu ke sini?" tanya Inspektur Recht dengan suara beratnya.
Aku hanya bisa menggeleng samar sambil terus memeluk tubuh yang semakin lama semakin kedinginan.
"Kau pasti sudah mendengar rumor yang tersebar tentang kastel yang ada di sana itu, bukan?" tanyanya lagi seraya mengarahkan dagu ke kastel di seberang sana.
"Me-mengenai ba-banyaknya o-orang-orang yang hi-hilang di ka-kastel itu, bukan?" Aku balas bertanya dengan gigi gemeretak.
"Ya," jawabnya tegas.
Apa sekarang Inspektur Recht memercayainya? Padahal, sebelumnya Inspektur Recht tak pernah mau percaya pada kabar burung semacam itu.
"Baru saja aku mendapat laporan dari beberapa keluarga yang kehilangan anaknya beberapa minggu lalu. Hampir semua mengatakan bahwa sebelum menghilang, anaknya itu sempat membicarakan tentang kastel itu. Masing-masing dari mereka juga berniat untuk masuk ke sana. Entah mereka memang masuk atau tidak. Tapi yang jelas, setelah mengatakan itu mereka semua menghilang secara misterius. Aku yakin bahwa ini bukanlah sekadar kebetulan," tutur Inspektur Recht seraya terus memandangi kastel tersebut.
Hatchii!!
Sekali lagi aku membuat Inspektur Recht mendelikku tajam. "Kau ini," senggaknya.
"Ma-maaf," kataku sembari sedikit tersenyum. "Se-sebenarnya, aku juga mendengar kabar lain yang sedang banyak diperbincangkan oleh orang-orang belakangan ini, Inspektur," lanjutku sambil mencoba melawan udara dingin.
"Kabar apa itu?" tanyanya seraya mengernyit.
"Sebuah ritual yang menjadikan seseorang sebagai tumbal. Mungkin saja itu yang selama ini terjadi. Dan mungkin saja di kastel itu ...."
Tiba-tiba Inspektur Recht berdeham. Dehamannya cukup keras hingga membuatku sedikit tersentak. "Kita bekerja bukan untuk memercayai cerita semacam itu. Dan, kau juga seharusnya tidak percaya pada takhayul seperti itu!"
"Tap―" Seketika aku terdiam. Tepatnya setelah Inspektur Recht melayangkan tatapan yang lebih tajam daripada sebelumnya.
Aku mendengus kesal. Sebagai seorang perwira, kami memang tidak boleh percaya pada hal-hal semacam itu. Hal-hal yang dianggap sebagai takhayul dan tak bisa dijelaskan oleh akal sehat. Namun meskipun begitu, hal-hal semacam itu bukannya tidak ada. Contoh, kasus orang-orang yang bunuh diri itu. Tanpa alasan yang jelas dan tanpa meninggalkan wasiat, mereka memutuskan untuk mengakhiri hidup begitu saja. Kalau hanya satu atau dua orang yang melakukannya, mungkin bisa saja dianggap sebagai kematian biasa. Namun, tidak jika terjadi pada lebih dari sepuluh orang dalam kurun waktu kurang dari sebulan. Mungkinkah ada sekte yang mengharuskan pengikutnya untuk melakukan bunuh diri? Aku rasa tidak. Kami sudah menyelidiki semua sekte yang mungkin ada di Wittenberg, tapi tak ada satu pun dari sekte-sekte itu yang mengharuskan jemaatnya untuk melakukan hal keji seperti itu.
Lalu, apa yang membuat mereka memutuskan untuk melakukannya? Jika bukan karena kehendak sendiri, aku berasumsi bahwa mungkin mereka melakukannya di bawah kendali seseorang. Semacam guna-guna, mungkin. Namun, aku tak mungkin mengatakannya kepada Inspektur Recht. Bisa kena semprot aku olehnya.
"Tu-tunggu dulu! Anda mau ke mana?" sergahku begitu melihat Inspektur Recht mulai membuka pintu.
"Kita tidak mungkin menemukan apa pun jika hanya berdiam diri seperti ini," jawabnya.
"Jadi? Kita akan ke sana?" tanyaku memastikan seraya menunjuk ke arah kastel itu.
"Tentu saja. Kenapa? Kau takut?"
"Bu-bukan begitu," sangkalku. "Tapi, meskipun kita ke sana belum tentu kita akan mendapatkan sesuatu, bukan?" kilahku yang sebenarnya lebih memilih untuk menunggu di dalam mobil daripada harus keluar dan menghadapi secara langsung udara dingin di luar sana.