SANG PELAHAP JIWA

Emma Susanti
Chapter #3

BAB II PEMILIK KASTEL

Suara entakan sepatu milik Inspektur Recht yang berulang kali terdengar dan menggema ke seluruh ruangan menandakan bahwa kesabarannya sudah mulai menipis. Pasalnya, sudah hampir setengah jam menunggu, si “Pemilik Kastel” yang disebut-sebut oleh lelaki bernama Nacht itu tak kunjung juga datang.

Apa mungkin mereka melarikan diri?

Mungkin saja pelayan bernama Nacht itu sengaja membawa kami ke sini agar ia bisa melarikan diri bersama majikannya. Namun, jika memang begitu, itu artinya mereka adalah orang-orang yang mencurigakan. Bisa jadi mereka juga ada hubungannya dengan kasus-kasus yang belakangan ini melanda kota.

Namun, semua prasangkaku hilang seketika, tepat setelah mendengar sebuah suara. Suara yang kuyakini adalah sebuah suara dari langkah kaki seseorang. Tapi, tunggu dulu! Suara langkah kakinya terlalu ringan untuk orang dewasa. Bahkan, lebih ringan dibandingkan dengan suara langkah kaki milik Nacht si pelayan. Mungkinkah langkah kaki itu milik anak-anak?

Aku yang sejak tadi berdiri di dekat perapian kontan berbalik untuk mencari asal dari suara langkah kaki tesebut. Bahkan, Inspektur Recht yang sejak tadi berada dalam posisi duduk pun kini ikut berdiri. Kedua netranya memandang lurus ke depan, ke sebuah koridor gelap di mana suara langkah kaki itu berasal.

"I-Inspektur ...." Aku beringsut mendekati Inspektur Recht.

Entah kenapa, suasana mencekam dan hawa dingin tiba-tiba menyelimuti seluruh ruangan. Suasana itu datang bersamaan dengan terdengarnya suara langkah kaki dari ujung koridor di depan sana. Jujur saja, aku sedikit ketakutan. Meskipun bekerja di kepolisian, bukan berarti aku tidak memiliki rasa takut sama sekali. Apalagi jika menyangkut dengan hal-hal berbau gaib. Hal-hal yang paling tidak bisa dijelaskan oleh akal sehat.

Suasana mencekam disertai aura tak mengenakkan membawa sesosok anak lelaki keluar dari koridor. Penampilannya yang sangat tak biasa membuat mulutku seketika ternganga. Bagaimana tidak, rambut pirang atau cokelat yang seharusnya dimiliki orang Jerman sepertiku, malah digantikan oleh warna hitam kemerahan. Bola mata yang seharusnya berwarna biru atau hijau, malah terlihat gelap sekelam malam. Di sebelah kiri telinganya terpasang sebuah anting berwarna merah bermodel stud yang sudah ketinggalan zaman. Ya, dengan penampilan semencolok itu siapa yang tidak akan terkejut?

Penampilan luar anak lelaki itu benar-benar tak seperti orang Jerman pada umumnya. Mungkin hanya dua hal yang masih mencirikan dia sebagai Deutschland1, yaitu kedua alis berwarna pirang dan warna kulitnya yang seputih salju.

Kedua bola mataku semakin menyelidik, dan mulai turun ke pakaian yang dikenakan olehnya. Setelan formal: kemeja putih, jas, dan celana katun pendek yang memiliki warna serupa, yaitu biru navy. Tak lupa dengan dasi pita berwarna senada yang melingkari kerah kemejanya. Dari pakaiannya menandakan bahwa ia adalah seorang “tuan muda”.

Tapi tunggu sebentar! Sebuah pin bertakhtakan batu besar berwarna merah yang tersemat di dada sebelah kirinya membuatku merasa ganjil. Batu itu memang berwarna merah semerah ruby. Namun, agak pudar. Kalau memang itu ruby, keasliannya benar-benar tidak terlihat sama sekali. Bahkan, tampak seperti batu murahan yang mudah ditemukan di toko-toko barang imitasi. Bagaimana bisa seorang tuan muda sepertinya lalai dan memakai benda murahan seperti itu? Mungkinkah dia tidak menyadarinya? Atau, dia memang sengaja mengenakannya?

Ah! Kedua mata kami bertemu, tepat setelah kembali kunaikkan pandangan. Namun, seketika bulu kudukku kembali meremang, di saat sebuah seringai menyeramkan terulas di kedua sudut bibirnya sambil menatapku lekat-lekat. Membuatku semakin ingin menyembunyikan diri di balik tubuh Inspektur Recht.

Hiii!

"Maaf, saya sudah membuat Anda berdua menunggu lama," ujar anak lelaki itu setelah mendudukkan tubuhnya―yang paling hanya setinggi 5 kaki― di salah satu kursi besar di dekat jendela. Kedua bola matanya menatap kami begitu dalam. Seringaian tadi sudah hilang dan digantikan oleh sebuah senyuman. Namun, tetap saja tak bisa meredakan bulu kudukku yang sudah telanjur meremang.

"Siapa kau?" Inspektur Recht bertanya. Dari keningnya yang berkerut aku bisa mengetahui bahwa Inspektur Recht sama bingungnya denganku.

"Jika Anda sekalian tidak keberatan, silakan duduk dulu," katanya sembari mengarahkan telapak tangan ke kursi yang terletak tak jauh dari kursi miliknya. Senyuman yang―hampir―selalu menghiasi wajahnya terlihat begitu janggal. Terkesan misterius dan sangat mengerikan.

Lihat selengkapnya