SANG PELAHAP JIWA

Emma Susanti
Chapter #5

BAB IV TULANG

Kami mulai mengelilingi kastel ditemani oleh pelayan pribadi Licht Dunkelheit. Nacht, yang entah apa nama belakangnya. Meskipun ia sopan dan selalu menunjukkan sikap ramah, ia pun memiliki sisi yang tak kalah misteriusnya dengan sang majikan. Aku tak bisa menjelaskannya dengan baik. Namun, aku merasa ada sesuatu di balik sikap ramah dan santunnya itu.

Entah sudah berapa banyak ruangan yang kami masuki, tapi tak satu pun dari ruangan-ruangan itu yang memberikan petunjuk. Sepertinya, sia-sia saja kami menyelidiki kastel ini. Rasanya semangatku semakin menurun tatkala melangkah dari satu ruangan ke ruangan lain dengan hasil, "tak mendapatkan apa pun".

"Masih berapa banyak ruangan lagi, Inspektur?" bisikku sambil merasakan pegal yang mulai menyerang di kedua kaki.

"Bersabarlah sedikit!" tegur Inspektur Recht yang seketika membuatku bungkam.

Berapa kali pun memperhatikan dan melayangkan pandangan ke seluruh ruangan, tak satu pun kutemukan potret keluarga dari Licht Dunkelheit. Bahkan, potret dirinya sendiri saja tidak. Bukankah ini aneh? Semua yang terpasang di dinding kastel hanyalah lukisan-lukisan terkenal seperti karya milik Claude Monet, Paul Cezanne, dan Leonardo Da Vinci. Meskipun aku tak yakin akan keaslian dari lukisan-lukisan itu, tetap saja karya milik ketiga pelukis terkenal itu berhasil membuatku terpukau.

"Aku tak melihat penghuni lain selain kau dan Licht Dunkelheit itu." Inspektur Recht mulai berkomentar. "Apa mungkin mereka sedang berada di luar?" tanyanya seperti penasaran.

"Memang tidak ada penghuni lain selain saya dan Tuan Muda."

"Maksudnya?" Aku ikut bertanya.

Nacht sedikit tersenyum sebelum akhirnya menjawab, "Di kastel ini hanya ada kami berdua, Tuan Nord. Hanya saya dan Tuan Muda. Tidak ada yang lain."

"Bagaimana dengan orang tuanya? Atau, keluarganya yang lain?"

"Hei, Nord! Jangan memaksa begitu!" Teguran dari Inspektur Recht sekali lagi membuatku lebih memilih untuk bungkam.

"Hahaha .... Tidak apa-apa, Inspektur." Terdengar seperti Nacht sedang membelaku. "Saya memang tidak bisa berkata banyak. Tapi yang jelas, sudah sejak lama Tuan Muda hidup berdua saja dengan saya," tuturnya diakhiri senyum ramah.

Jangan-jangan, Licht Dunkelheit itu yatim piatu?

Meskipun begitu, rasanya sulit untuk mengasihani anak lelaki itu. Apalagi dengan sifat egois, angkuh, dan terlalu percaya diri yang dimilikinya. Lagi pula, tampak jelas bahwa Licht Dunkelheit itu bukanlah tipe orang yang ingin dan minta dikasihani.

"Berapa ruangan lagi yang masih tersisa?" tanya Inspektur Recht yang sepertinya juga sudah mulai kelelahan.

"Hanya tinggal satu ruangan lagi, Inspektur." Syukurlah! "Ruang pembakaran yang berada tak jauh dari halaman belakang," jelas Nacht sambil sesekali memperhatikan jam sakunya. "Apa Anda masih sanggup pergi ke sana?" Ia bertanya sambil sedikit menoleh ke arah Inspektur Recht.

Inspektur Recht mendengkus. "Kita ke sana sekarang. Aku tak ingin melewatkan satu ruangan pun dari kastel ini," katanya yang tiba-tiba kembali bersemangat.

Hanya tinggal satu ruangan lagi, dan aku bisa kembali ke rumah untuk beristirahat. Semoga saja kali ini kami bisa mendapatkan sebuah petunjuk.

***


Setelah Nacht meninggalkanku berdua saja dengan Inspektur Recht, kami mulai mencari apa pun yang bisa kami jadikan sebagai petunjuk. Jujur saja, aku sendiri tak yakin bahwa kami akan menemukan sesuatu di sini. Namun, aku yakin bahwa Inspektur Recht tidak akan menyerah begitu saja. Semangat yang tinggi dan keinginannya untuk dapat menyelesaikan kasus ini secepatnya-lah yang menjadi alasannya.

"Apa kita akan menemukan sesuatu di sini, Inspektur?"

"Entahlah, aku juga tak yakin.Tapi kita harus siap menerima kenyataan terburuk jika pekerjaan kita hari ini berakhir dengan sia-sia," jawab Inspektur Recht sembari memperhatikan sekeliling.

Memangnya apa yang bisa kami dapatkan dari ruang pembakaran yang hanya dipenuhi oleh kayu dan berbatuan?

Lihat selengkapnya