Oleh: Nacht
Suara denting bel yang dibunyikan berulang-ulang kali menggema ke seluruh ruangan. Aku yang saat ini tengah mencuci peralatan masak, mau tak mau harus meninggalkan pekerjaan untuk memenuhi panggilan tersebut. Semoga saja dia memanggil karena memang benar-benar membutuhkanku.
Sehabis mengeringkan kedua tangan, aku langsung mengambil langkah lebar menuju ruang makan. Suara denting bel itu memang berasal dari sana. Sudah beberapa belas menit sejak aku meninggalkannya sarapan seorang diri. Semoga saja kali ini ia benar-benar menghabiskan makanannya. Malas rasanya jika setiap hari harus membereskan piring yang masih berisi setengah dari santapan yang kusiapkan untuknya.
“Anda memanggil saya, Tuan Muda?” tanyaku begitu sudah berada di sisinya.
Dia mendelik. Menyeringai dan mulai berkata, “Tidakkah menurutmu ini hebat?” katanya seraya mengangkat bel yang terbuat dari kuningan yang baru saja didapatkannya beberapa hari yang lalu.
Aku terdiam sejenak, kemudian berdeham. “Anda tidak memanggil saya hanya untuk ini, ‘kan?” Masih banyak pekerjaan yang harus kuselesaikan ketimbang meladeni tingkah konyolnya.
Kedua netranya yang sehitam malam itu kembali memperhatikan bel di tangan. “Sudah lama sekali aku menginginkannya.” Dia bergumam diiringi senyuman.
Tidak. Bukan senyuman manis seperti yang dimiliki anak seumurannya. Melainkan senyuman mengerikan yang sarat akan makna. Senyuman yang bagi siapa pun yang melihat akan langsung bergidik dan merasa ketakutan.
“Tuan Muda, jika Anda memanggil saya untuk hal yang tidak penting, lebih baik saya kembal―”
“Kau ini benar-benar tidak mengasyikan,” ujarnya disertai lirikan tajam. “Aku ini hanya sedang butuh teman bicara.”
Oh, memangnya apa yang ingin kau bicarakan?
“Dan,” dia mengangkat cangkirnya, “aku butuh minumanku.”
Seketika aku mendengkus. “Anda sudah menghabiskan tiga cangkir, dan itu masih belum cukup?”
Wajahnya berubah merengut. “Pokoknya, aku ingin minumanku!”
Baiklah, dia mulai merengek sekarang.
“Kalau begitu, akan saya buatkan.” Wajahnya berubah cerah. “Dengan catatan, siang nanti Anda hanya akan mendapatkan satu cangkir saja.” Kini raut wajahnya mendadak masam. “Bukankah kita sudah sepakat?”
Dalam satu hari dia hanya boleh meminum 8 cangkir cokelat panas, tidak lebih. Tiga cangkir di waktu pagi, dua cangkir di waktu siang, dan tiga cangkir lagi di waktu malam.
Dia berdecak sebal. Kedua lengannya pun kini ia lipat di dada. Tanda bahwa ia tidak suka dengan apa yang telah kuputuskan, meskipun pada awalnya ia sendirilah yang menyetujui kesepakatan ini.
“Mereka tidak kembali, kan?” tanyanya tiba-tiba. Mereka yang dimaksud sudah pasti dua orang dari kepolisian yang sempat kemari beberapa hari yang lalu.
“Tidak,” jawabku seraya menggeleng pelan.
“Ke-na-pa, yaa?” Ia kembali menatapku dan mulai menunjukkan seringai mengerikan.