SANG PELAHAP JIWA

Emma Susanti
Chapter #7

BAB VI GEREJA St. MARY

Kuhentikan mobil di pinggiran jalan raya Schlosspl. secara mendadak, hingga membuat Tuan Muda mengerang dan mengumpat, “Oh, sial! Apa yang kau lakukan, Nacht?!”

 Sambil mencengkeram erat-erat kemudi aku mencoba mengatur kembali pernapasan. Tuan Muda memang belum mengatakan ke mana tempat yang sebenarnya ingin ia tuju. Namun, setelah menyusuri jalanan, aku baru menyadari bahwa jalan ini adalah jalan menuju tempat yang sarat akan memori masa lalu.

 “Apa Anda berniat pergi ke sana?” Kuberanikan diri untuk bertanya. Namun, ia tak langsung menjawab. “Saya hapal betul jalanan ini, Tuan Muda.”

Meskipun sudah lama sekali berlalu, aku tak akan mungkin bisa melupakan tempat itu. Tempat di mana kehidupanku yang baru bermula.

 Kulirik dia dari kaca spion, dan menemukannya dalam keadaan bersedekap sambil menatapku diiringi senyum penuh kemenangan. Dia sedang bertingkah usil sekarang. 

 “Ada apa, Nacht? Apa kau takut pergi ke sana?” tanyanya dengan raut wajah menyebalkan. Kurasa dia memang sengaja melakukannya. Atau mungkin, dia sedang mencoba mengujiku?

 Kutarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya ke udara secara perlahan. Mengosongkan pikiran demi bisa meraih kembali ketenangan. Jika dia melihatku risau atau gelisah, itu akan menjadi sebuah kemenangan telak baginya. Aku harus bisa bersikap biasa.

 “Apa yang membuat Anda berpikir begitu?” Senyumanku mungkin kalah dari senyuman khas milik Tuan Muda. Namun, senyuman ini kupelajari selama bertahun-tahun demi bisa bersaing dengannya. Pikirku demikian.

 “Kalau begitu, kenapa sepertinya kau enggan sekali untuk pergi ke sana?” Sial, senyumannya kali ini lebih menakutkan.

 “Saya tidak enggan, saya hanya merasa heran,” kilahku.

 Kekehan tertahan itu membuatku semakin merasa kalah. Untung saja kekehan itu tak berlangsung lama. Ia kini memandang ke luar jendela seraya berkata, “Aku hanya sedang ingin bernostalgia, Nacht.”

 Nostalgia?

 Ia kembali menatapku sambil tersenyum. “Sedikit bernostalgia tidak akan membuatmu terluka, bukan?”

 Perkataannya sontak membuatku mendengkus. “Terluka? Anda tidak benar-benar menganggap saya akan terluka hanya karena hal sekecil ini, bukan?”

 Dia mengangkat bahu sekarang. “Entahlah. Hanya kau yang mengetahui benar atau tidaknya perkataanku.”

 Terluka …. Perasaan semacam itu sudah tak lagi kurasakan semenjak hidup bersamanya. Bahkan, aku merasa bahwa sedikit demi sedikit emosiku menguap setiap kali mengikuti semua tindak tanduknya. Aku tak lagi merasa bahwa aku adalah seorang manusia biasa.

Lihat selengkapnya