Cukup lama Tuan Muda berada di dalam gereja. Entah apa yang sedang dilakukannya sekarang. Apa dia tak berpikir bahwa aku akan mati bosan karena menunggunya seperti ini? Menyesal karena tak menerima tawarannya untuk ikut masuk ke dalam sana.
Tidak. Mana boleh aku masuk ke sana. Aku tak bisa menunjukkan wajahku di hadapannya. Meskipun telah lama berlalu, tak ada jaminan bahwa dia tak akan mengenaliku. Apalagi, wajah ini tak berubah banyak semenjak kejadian waktu itu. Tapi … apa yang harus kulakukan sekarang? Hanya menunggu tanpa berbuat apa pun di dalam mobil yang pengap dan sempit seperti ini? Jika saja Tuan Muda mau menerima usulku untuk membeli mobil baru yang lebih bagus dan lebih luas.
Ayolah! Volkswagen Karmann Ghia tahun 1960 di abad 21? Bukankah itu sudah ketinggalan zaman? Namun, begitu aku mengemukakannya kepada Tuan Muda, ia malah berkata, "Hobi Vater―mengoleksi barang antik―yang satu ini memang patut diacungi jempol. Asal kau tahu saja, Nacht, aku ini sangat menyukai barang-barang antik."
Jujur, aku tak percaya dengan ucapannya. Aku rasa keputusannya untuk tidak mengganti mobil ini tak lain dan tak bukan adalah, karena dia tahu bahwa aku sangat tidak menyukainya.
Kuputuskan untuk keluar dari mobil. Biar bagaimanapun, aku butuh ruang bebas untuk bernapas. Aku tidak akan ke mana-mana, seperti yang diperintahkan oleh Tuan Muda. Aku hanya akan menyandarkan punggung ke mobil sambil menghirup udara dingin dan sesekali melihat sekeliling. Namun, di saat yang sama, kulihat dua orang wanita berjalan menghampiriku.
Ah! Aku kira mereka akan mendatangiku. Rupanya mereka berjalan menghampiri sebuah kursi di taman yang tak jauh dari tempatku berdiri sekarang. Awalnya aku tak ingin peduli, tapi begitu salah satu dari mereka bicara, mau tak mau aku jadi ikut mendengarkan.
“Kau tahu kasus yang sedang marak terjadi belakangan ini?” tanya wanita yang kulirik sekilas memiliki rambut pendek dan bertubuh gempal.
Temannya yang bertubuh tinggi dan duduk di sebelahnya itu mengangguk. “Ya. Kasus bunuh diri dan orang-orang yang hilang itu, kan?”
Aku tahu ini tidak sopan, tapi pembicaraan mereka betul-betul membuatku tertarik. Untunglah aku bisa mendengar percakapan mereka sambil memperhatikan gerak geriknya melalui kaca spion. Aku tak ingin terlihat mencurigakan karena terlalu sering menoleh ke belakang.
“Itu benar-benar mengerikan!” Si Gempal itu memeluk tubuhnya sendiri seolah kedinginan. “Aku tak habis pikir, bagaimana bisa seseorang memutuskan untuk mengakhiri hidupnya sendiri tanpa pikir panjang? Apalagi kebanyakan dari mereka memiliki usia yang sama dengan kita. Usia di mana seseorang masih memiliki banyak mimpi untuk diwujudkan.”
Mimpi hanyalah mimpi, Nona Muda. Di mana sebuah mimpi jika terlalu sulit diraih akan berubah menjadi sebuah belenggu menyesakkan yang akan mengantarkanmu kepada jurang kematian. Apa mereka tidak berpikir sampai ke sana?
“Kau tahu? Ada sebuah rahasia besar yang disembunyikan oleh pihak kepolisian dari masyarakat.” Baiklah, aku semakin tertarik. “Ini tentang kasus bunuh diri itu,” sambungnya penuh teka teki.
“Yang aku dengar, kasus bunuh diri itu telah berubah menjadi kasus pembunuhan. Iya, kan?” timpal si Gempal.
“Menurutmu apa yang membuat mereka mengubah kasusnya?” Pertanyaan si Tinggi ditanggapi si Gempal dengan sebuah gelengan kepala. “Karena kasus bunuh diri itu terjadi secara beruntun?” Si Gempal mengangkat bahu. “Tidak. Bukan hanya karena itu. Mereka mengubah kasusnya menjadi kasus pembunuhan karena hampir semua korban bunuh diri itu memilih mati dengan cara tak biasa.” Sekarang aku berusaha untuk tidak tertawa.
“Maksudmu?” Sepertinya si Gempal sudah mulai ketakutan.
“Kalau kau berpikir mereka melakukannya dengan cara biasa seperti, jatuh dari ketinggian, memotong urat nadi, dan meminum pil tidur, kau salah besar,” lanjut si Tinggi dengan nada mencekam.
“Jadi?” Aku bisa melihat pundak si Gempal mulai gemetaran.
“Mereka melakukannya dengan cara yang tak akan pernah bisa kau bayangkan.” Jika kau tertawa sekarang, kau akan dicurigai, Nacht. “Menurutmu kenapa pemberitaan di televisi tak pernah memunculkan gambar dari semua korban-korbannya?”
“Karena memang tak seharusnya,” jawab si Gempal dengan nada bertanya.