Oleh: Rose
Semakin hari semakin banyak yang datang ke gereja untuk berdoa. Tentu saja itu merupakan hal baik, karena tandanya masih banyak orang yang mengingat Tuhan. Yah, meskipun dalam keadaan tertentu. Sungguh, aku senang jika gereja ini penuh seperti sekarang. Meskipun itu berarti aku harus bangun lebih pagi untuk membereskan dan menyiapkan segalanya.
Gereja St. Mary, bangunan bergaya gotik muda yang dibangun sekitar tahun 1490-an ini tidak hanya berfungsi sebagai tempat peribadatan, melainkan sebagai tempat bernaungnya anak-anak telantar yang memang tidak memiliki tempat tinggal. Tepat di sebelah gereja, didirikan sebuah yayasan panti asuhan yang dikepalai oleh Suster Liona, tentunya di bawah kepemimpinan Vater1 Lincoln―pastor yang mengepalai langsung gereja ini.
Panti asuhan ini dibuat kurang lebih 25 tahun lalu sebagai bentuk kecintaan Vater terhadap anak-anak. Ia tak tega jika harus melihat anak-anak tak berdosa telantar di jalanan hanya karena kesalahan atau ketidakmampuan perekonomian orang tua mereka. Bahkan, karena kelembutan hatinya, ia rela menyisihkan tabungan pribadi hanya agar bisa membangun panti asuhan dengan fasilitas lengkap. Tujuannya hanya untuk memberi rasa aman, nyaman, serta kebahagiaan bagi anak-anak asuhnya.
Seiring berjalannya waktu, panti asuhan St. Mary ini semakin dikenal oleh masyarakat luas. Hal itu membuat kami tak lagi hanya menerima anak-anak dalam kondisi telantar. Kami juga menerima dengan tangan terbuka anak-anak korban perceraian, juga anak yang lahir dari hasil korban pemerkosaan. Meskipun begitu, hak asuh atas anak-anak tersebut tidak lantas sepenuhnya jatuh kepada pihak panti asuhan. Biar bagaimanapun, mereka masih memiliki orang tua. Jadi, jika suatu saat mereka―baik dari pihak orang tua maupun pihak anak―ingin kembali tinggal bersama, tentu saja kami dari pihak panti akan mengizinkannya dengan senang hati. Tentu, tanpa harus mengembalikan sejumlah uang yang telah kami keluarkan untuk merawat anak-anak itu. Meskipun demikian, kami juga tidak menampik jika salah satu dari mereka―tentunya dari golongan mampu―ingin beramal dan ikut memajukan panti demi kemaslahatan anak-anak yang lain.
Namaku Rose. Gadis berusia 21 tahun yang ingin mengabdikan diri hanya kepada Tuhan. Meskipun sering dipanggil dengan sebutan Suster, aku masih berada dalam tahap postulat atau calon. Belum layak dipanggil begitu. Namun, karena kebanyakan orang tidak mengerti―bahwa untuk menjadi seorang suster ada beberapa tahapan yang harus dijalani, aku menerima panggilan itu dengan senang hati.
Keseharianku di gereja juga di panti asuhan meliputi: menyiapkan peralatan untuk berdoa bagi jemaat yang datang ke gereja, mengurusi anak-anak di panti, membersihkan seluruh ruangan dengan kawan-kawan yang lain, juga memasak. Selain karena memang tinggal di sini, aku melakukannya atas dasar sukarela. Aku juga cinta anak-anak, karena setiap kali melihat mereka yang “terluka”, aku selalu merasa seperti berkaca. Lebih tepatnya berkaca pada masa laluku yang tak jauh lebih buruk dari keadaan mereka.
Perlu diketahui bahwa aku juga merupakan salah satu “buah” dari kemurahan hati Vater Lincoln. Sebelas tahun lalu aku resmi menjadi penduduk panti. Aku dirawat dan dibesarkan dengan penuh kasih di panti asuhan ini. Meskipun, aku tak tahu sama sekali apa alasanku berada di sini. Baiklah. Aku memang seorang yatim piatu, tapi bukan berarti aku tidak memiliki sanak saudara yang lain. Masih terekam jelas dalam ingatan bahwa aku masih memiliki seorang bibi dari pihak ibu. Aku juga masih ingat bagaimana perlakuannya terhadapku. Namun, aku tak ingat bagaimana caraku bisa terlepas dari cengkeramannya. Seolah ia telah lenyap hingga tak berbekas.
Selain seorang bibi, aku juga masih memiliki seorang kakak laki-laki yang usianya lebih tua lima tahun dariku. Aku ingat betul bahwa kami berdua sama-sama tinggal di rumah Bibi dan menjalani hari-hari dengan penuh luka dan derita di sana. Namun, hal yang tak bisa kuingat tentangnya adalah, bagaimana akhirnya kami bisa terpisah. Bagaimana bisa hanya aku yang tertinggal di gereja ini? Mungkinkah ia lenyap sama halnya dengan Bibi?
Sempat kutanyakan hal ini kepada Vater Lincoln. Namun, ia hanya menjawab, “Aku menemukanmu tergeletak di depan gerbang gereja, dan yang menemanimu hanyalah sepucuk surat tanpa nama berisikan permohonan agar aku bersedia merawatmu.”
Mungkinkah kakakku yang sengaja meninggalkanku di sini? Tapi kenapa?
Selama bertahun-tahun aku selalu berharap agar bisa kembali bertemu dengannya. Bahkan, hampir setiap saat aku mengintip ke gereja hanya untuk mengecek kalau-kalau dia menampakkan diri di sana. Namun, hasilnya tetaplah nihil. Meskipun begitu, aku tak boleh berputus asa. Aku harus tetap yakin. Yakin bahwa suatu hari nanti aku dapat kembali melihat sosoknya.
“Suster ….”
Sebuah suara disertai tepukan lembut di bagian lengan sontak membuatku terkesiap. Tak sadar bahwa sejak tadi yang kulakukan hanyalah melamun tanpa menyadari siapa-siapa saja jemaat yang baru datang.
Saatnya fokus, Rose!
Kuulas senyum sebelum menoleh ke sisi kiri, ke tempat suara itu berasal. Kemudian, mendapati sesosok anak lelaki berambut hitam kemerahan dengan bola mata sekelam malam berdiri di sebelahku sambil menunjukkan seulas senyum ganjil yang mengerikan.
Anak kecil di hadapanku ini begitu asing. Namun, mengapa kesan familier yang justru menyelimuti diriku sekarang? Aku yakin seyakin-yakinnya bahwa ini kali pertama aku melihat sosoknya. Lantas, mengapa aku merasa bahwa sepertinya aku pernah bertemu dengannya?
Tidak. Jika memang kami pernah bertemu sebelumnya, aku tak akan mungkin melupakannya begitu saja. Apalagi dengan penampilannya yang jauh dari kata normal. Anak kecil semencolok ini tidak akan mudah hilang dari ingatan. Aku yakin itu.
Dia masih berdiri sambil memandangiku dan tersenyum. Namun, senyuman miliknya itu tidaklah seperti senyuman yang dimiliki kebanyakan orang. Ada sesuatu yang terkandung dalam senyuman itu. Satu hal yang pasti, setiap kali ia menunjukkan senyuman, sontak membuatku merasa bergidik. Bulu kudukku saja sampai ikut meremang dibuatnya.
Siapa dia?