Kutarik mantel semakin ke depan agar bisa menutupi seluruh tubuh lebih erat. Tak lupa merekatkan topi beanie di kepala hingga menutupi seluruh bagian telinga, juga membelit leher dengan syal tebal sebelum keluar dari gereja. Aku memang tengah berlaku bodoh sekarang; berjalan-jalan seorang diri di cuaca sedingin ini, hanya karena tak tahu harus pergi ke mana dan menghabiskan waktu dengan cara seperti apa. Tidak seperti mereka yang sepertinya sedang bersenang-senang di sebuah tempat yang hangat.
Sebagai seorang postulat, kami diberi jatah libur satu hari dalam seminggu. Ketentuan tersebut memang baru-baru ini diberlakukan. Itu karena Emily yang terus-menerus merengek kepada Suster Liona agar diberi kesempatan untuk melihat dunia luar. Mungkin, baginya dan teman-temanku yang lain itu adalah hal menyenangkan: mendapat hari libur dan diberi kebebasan mengeksplor segala sesuatu di luar sana. Namun, tidak denganku. Diberi waktu bebas tanpa tahu harus mengerjakan apa malah membuatku bingung. Alhasil, aku malah menghabiskan waktu di jalanan seperti sekarang.
Emily memang telah mengajakku untuk bergabung dengannya. Berkumpul bersama teman-teman yang lain layaknya wanita di zaman sekarang. Menghabiskan waktu dengan makan siang di restoran seperti orang kebanyakan. Tentu aku tidak keberatan jika memang hanya itu yang mereka lakukan. Namun, lain lagi ceritanya jika ditambah dengan menggosipi pria-pria tampan yang sering datang ke gereja.
Wajar memang, bagi wanita seusiaku, seusia kami untuk tertarik kepada lawan jenis. Namun, bagiku yang tengah mempersiapkan diri untuk menjadi pelayan Tuhan, merasa bahwa hal itu―tertarik kepada pria―merupakan sebuah dosa besar. Maka itu, tiga minggu lalu kujadikan kali pertama sekaligus yang terakhir aku ikut serta bersama Emily dan yang lain.
Kutatap sejenak langit kelabu di atas sana. Salju tampaknya belum akan turun. Sebaiknya aku mempercepat langkah agar bisa kembali ke gereja sebelum semakin kedinginan di luar sini. Tepat setelah berpikir begitu, aku sampai di sebuah supermarket yang berada di kawasan Lutherstadt.
Tunggu dulu!
Kuteliti lagi secara saksama papan nama jalan yang terletak di persimpangan yang tak jauh dari supermarket. Tampaknya, aku memang tidak salah lihat. Tempatku berdiri sekarang benar-benar Lutherstadt!
Entah sejak kapan aku berada di sini. Sepertinya, tanpa sadar aku telah berjalan lebih dari satu kilo untuk berada di tempatku sekarang. Bisa jadi karena udara dingin yang membuatku terus berjalan tanpa memperhatikan sekitar hingga akhirnya aku benar-benar sampai di Lutherstadt.
Kukedikkan bahu sebelum akhirnya memutuskan untuk masuk ke bagian dalam supermarket. Selain bisa ikut menghangatkan diri, aku juga bisa memilih beberapa bahan makanan yang akan dimasak nanti malam.
Sebuah ide brilian tiba-tiba muncul dari dalam kepala. Bagaimana kalau aku membuat salatteller1 yang disajikan dengan turkey fillet2 berlumur saus mushroom? Ya, itu ide bagus. Anak-anak juga pasti menyukainya. Karena hari ini adalah hari spesial―hari liburku, aku juga akan membuatkan secangkir cokelat panas untuk mereka semua. Suster Liona memang sudah memperingatkanku dan para postulat lain untuk tidak memberi mereka makanan atau minuman yang manis-manis. Tapi … sekali-kali tidak apa-apa, ‘kan?
Setelah mengambil beberapa potong daging kalkun di bagian ikan dan daging―tanpa singgah di bagian sayur-mayur karena masih tersisa cukup banyak di panti, aku berbelok ke bagian cokelat. Tadinya, aku berniat membuat cokelat panas dengan menggunakan bubuk cokelat biasa. Namun, setelah dipikir lagi, aku ingin mencoba membuatnya dengan menggunakan cokelat batang. Meskipun belum pernah kulakukan sebelumnya, tapi aku yakin pasti rasanya akan jauh lebih enak.
Tepat setelah membelokkan tubuh, kutemukan sesosok pria bermantel hijau gelap yang tengah memasukkan beberapa cokelat batang ke dalam keranjang. Ah, mungkin belum pantas disebut pria karena tingginya belumlah setinggi pria dewasa. Wajahnya dari samping pun memperlihatkan bahwa pria itu masihlah muda. Bisa jadi lebih muda dariku. Namun, mengapa aku merasa familier dengan wajah itu? Mungkinkah kami pernah bertemu sebelumnya? Ah! Bisa jadi dia adalah salah satu dari jemaat yang sering datang ke gereja.
Aku sedikit terkejut ketika melihat tahi lalat di bawah bibir yang terdapat di wajah pria itu. Meski sudah lama sekali berlalu, aku masih ingat betul kalau posisi tahi lalat seperti itu sangatlah mirip dengan yang dimiliki oleh kakakku. Belum lagi alisnya! Kalau diperhatikan lebih lanjut, meskipun tampak dari samping, bentuk alisnya pun mirip sekali. Membuatku penasaran seperti apa tampangnya jika dilihat langsung dari depan.