“Kak Rose!”
Beberapa anak asuh kami berseru, tepat setelah aku melangkah masuk ke bagian dalam ruangan. Raut wajah mereka terlihat merengut. Tatapan mereka menyiratkan kesabaran yang mulai menipis. Salah satu dari mereka menghampiriku sekarang. John, si rambut cokelat beralis tebal yang masih berusia tujuh tahun.
“Kakak ke mana saja?” tanyanya dengan tatapan memelas.
Kubungkukkan badan agar bisa sejajar dengannya. “Ada apa?”
“Kami ingin makan siang bersama Kakak,” jawabnya sedikit merengek.
“Kalian belum makan?!” Tentu saja aku terkejut mendengarnya. Apalagi sekarang sudah lewat dari jam makan siang. “Kenapa?”
“Aku dan yang lain ingin makan bersama Kakak.” John mengulangi kembali alasannya.
Ya, Tuhan!
Sebuah ide buruk meninggalkan mereka sebelum jam makan siang. Minggu lalu aku mengambil jatah libur hanya untuk sekadar membaca buku di perpustakaan gereja. Itu pun setelah menyiapkan santap siang dan makan bersama mereka. Kupikir mereka bisa makan siang seperti biasa tanpa aku. Siapa yang sangka bahwa hal sesederhana itu merupakan hal istimewa, bahkan bisa dikatakan wajib bagi mereka.
“Emily dan yang lainnya sudah kembali?” tanyaku sambil bergerak menuju dapur; John dan yang lainnya mengikuti.
“Sudah,” jawab mereka serempak.
Aku berbalik sekaligus memicingkan mata terhadap mereka. “Kalau begitu, mereka sudah memasakkan sesuatu untuk kalian?”
“Jangan salahkan aku yang belum memasak sama sekali.” Emily tiba-tiba muncul dari arah dapur. “Mereka tidak mau makan masakanku,” imbuhnya dengan bibir mengerucut.
“Masakan Kak Emily selalu kurang bumbu,” celetuk Berg si rambut ikal.
“Dan Kak Milia paling tidak bisa mencicipi,” timpal Idette yang paling kecil.
“Oh, maaf kalau lidahku tak sebaik milik Rose.” Milia ikut melongok dari dalam dapur.
Tingkah mereka membuatku menghela napas panjang. “Baiklah,” aku menyerah, “biar koki ini yang menjalankan tugasnya,” kataku sebelum kembali berbalik dan bergabung bersama Milia juga Emily.
Pelajaran yang bisa kuambil dari peristiwa hari ini adalah, “jangan pernah meninggalkan mereka dalam keadaan perut kosong”.
***
“Sudah tidur, Rose?” tanya Emily dari tempat tidurnya yang berada di atas tempat tidurku.
Di panti asuhan ini kami menggunakan tempat tidur tingkat di setiap kamar. Untuk postulat seperti kami diberi jatah satu kamar untuk dua orang. Kebetulan, teman sekamarku adalah Emily. Meski banyak bicara, satu kamar dengannya cukup menyenangkan. Mungkin, karena dengan kecerewetannya itu bisa membuatku terhindar dari kesepian.
Kusimpan Alkitab di atas nakas sebelum menjawab, “Belum, kenapa?”
“Ke mana saja kau hari ini? Tak biasanya kau benar-benar meninggalkan gereja.”
Sambil menyelipkan kedua tangan di bawah bantal dengan tatapan menerawang ke ranjang Emily, aku kembali menjawab, “Tidak ke mana-mana. Hanya berjalan tanpa tujuan.”
“Jalan-jalan?!” pekik Emily. “Di cuaca sedingin ini?”
“Bodoh, bukan?”
“Sangat!” tegasnya seraya melongok ke bawah, ke ranjangku. “Lalu, apa yang kau dapatkan?”
Kukedikkan bahu seraya menyahut, “Bahan makanan untuk siang tadi.”
“Hanya itu?” Emily masih melongok.
Aku menatapnya sebentar, kemudian kembali memalingkan muka. Aku bingung harus menceritakannya atau tidak. Namun, jika kupendam sendiri rasanya menyesakkan.
“Sebenarnya … aku bertemu dengan seseorang di supermarket.”
“Laki-laki?”