Oleh: Nacht
“Ugh! Menyebalkan!” Tuan Muda yang tiba-tiba mengumpat sembari menaruh cangkir dengan kasar di atas meja membuatku seketika berpaling kepadanya.
“Ada apa, Tuan Muda?”
“Tidak.” Dia mengibaskan tangan ke udara. “Hanya saja bau ‘busuk’ itu tercium lagi,” ujarnya dengan nada mengeluh.
“Bau busuk?”
Seingatku, aku sudah membereskan semua sumber bau busuk itu sejak dua minggu yang lalu. Tidak mungkin masih tercium, kan?
Dia mendengkus. “Bukan bau busuk yang itu,” bantahnya.
Dia benar-benar membuatku bingung sekarang. Kalau bukan itu yang dimaksud, lalu apa?
“Wajah kebingunganmu itu membuatmu semakin terlihat konyol, Nacht!”
Sekarang dia mulai mempermasalahkan raut wajahku?
Kedua netranya kini menerawang ke langit-langit. Sejurus kemudian, ia mulai berseru, “Keluarlah!”
Kuikuti langkah kedua netranya. Meski, tak ada apa pun yang muncul dari atas sana. Ah! Aku mengerti sekarang. Jadi, “itu” yang dia maksud bau busuk? Rupanya “dia” sudah datang?
“Licht!”
Makhluk merepotkan itu tiba-tiba muncul dan berseru dari atas sana. Ia terbang dan langsung mendekati Tuan Muda dengan senyum cerah ceria. Kalau saja Tuan Muda tidak cepat menghindar, mungkin makhluk itu sudah berhasil memeluknya sekarang.
“Jangan dekati aku!” sentak Tuan Muda seraya bergerak menjauh darinya. “Sudah kubilang cari cara untuk menghapus bau busukmu itu, kan?”
Hidung yang dimiliki Tuan Muda memang berbeda dari hidung yang dimiliki oleh orang kebanyakan. Hidungnya lebih sensitif sehingga mampu mencium bau-bauan aneh yang tak bisa dicium oleh kebanyakan orang, termasuk aku.
Makhluk itu tampang dan penampilannya memang seperti wanita biasa: bertubuh ramping, berwajah mungil, berambut pendek, dan bermata besar. Namun, yang membedakannya dengan orang pada umumnya adalah, bola mata yang berwarna merah dan kedua gigi taring yang cukup panjang. Ah! Aneh rasanya jika kusebut dia sebagai orang atau manusia. Ya, karena makhluk itu memang bukanlah manusia. Lagi pula, mana ada manusia yang bisa terbang menembus langit-langit seperti dia.
Kami bertemu sosoknya kurang lebih delapan tahun lalu, tepat setelah Tuan Muda berhasil mengambil alih kastel ini. Aku tak mengira bahwa selain kami bertiga: aku, Tuan Muda, dan Vater, tinggal pula sesosok iblis perempuan. Iblis perempuan itu memperkenalkan diri di hadapan kami sebagai Kalten Halmet. Kemunculannya yang tiba-tiba tentu saja membuatku terkejut. Apalagi dengan senyumnya yang menyeringai, yang secara otomatis memperlihatkan kedua gigi taringnya yang runcing dan tajam. Namun, tidak dengan Tuan Muda. Tampangnya saat itu―yang sampai sekarang pun tak dapat kulupakan, memperlihatkan bahwa dirinya tidak terkejut sama sekali. Saat itu dia hanya berkata, “Aku benci iblis.”
Meskipun malas, tetap harus kukatakan, “Selamat datang kembali, Nona Kalten.”
Kedua bola matanya mendelik tajam ke arahku. Meskipun sudah mencoba bersikap baik, tetap saja makhluk itu tidak bisa membalas dengan cara yang sama.