SANG PELAHAP JIWA

Emma Susanti
Chapter #13

BAB XII RITUAL

Sebenarnya, alasanku keluar hari ini bukan hanya sekadar membeli persediaan cokelat. Namun, karena aku juga mempunyai janji dengan seseorang. Sebut saja sebagai kencan musim dingin. Ya, janjiku hari ini adalah dengan seorang wanita. Tidak, bukan karena suka atau merasa tertarik untuk menjalin sebuah hubungan normal layaknya kebanyakan orang. Aku hanya sedang merasa sedikit bosan. Oleh karena itu, aku ingin mencoba sesuatu yang tak biasa kulakukan. Tak hanya itu, aku juga ingin sedikit memastikan “sesuatu”.

Ah, itu dia!

Wanita berdada besar bernama Angie yang tak sengaja kutemui di supermarket beberapa minggu yang lalu. Saat itu, ia sedang bertengkar dengan kekasihnya yang bertubuh kekar dan berwajah sangar. Aku tak tahu apa penyebab mereka bertengkar, yang jelas mereka beradu mulut di area publik dan ditonton oleh orang banyak. Di saat kekasihnya mulai mengangkat tangan―hendak memukul pipi Angie, dengan segera aku menangkap tangan itu; mencoba menghentikan pertengkaran mereka. Aku sadar diri bahwa aku tak akan bisa menang jika harus melawan kekasihnya itu. Oleh sebab itu, sebelum memutuskan untuk menengahi mereka, aku sempat memanggil beberapa petugas untuk meringkus pria berbadan kekar itu.

Di hari yang sama Angie berterima kasih kepadaku juga mengajakku berkenalan. Dia juga mengatakan ingin membalas kebaikanku. Kemudian, muncullah sebuah ide dari dalam kepala. Kuputuskan untuk bertemu kembali di tempat kami bertemu sekarang. Tak kukira dia akan semudah itu menyetujuinya. Angie sama sekali tidak mencurigaiku. Bahkan, saat ini, di pertemuan kedua kami, dengan beraninya dia menggamit manja lenganku.

Bodoh sekali, bukan?

Lebih mengejutkan lagi ketika dia membawaku ke sebuah hostel tersembunyi yang tak banyak dilewati orang. Tak perlu menerka apa yang hendak dilakukannya sekarang. Sungguh, aku tak bermaksud untuk mengambil keuntungan atas pertemuan ini. Bahkan, aku tak mengira bahwa wanita itu akan langsung membawaku ke tempat seperti ini. Mungkin, di dalam otaknya ia berpikir bahwa satu-satunya cara untuk membalas kebaikanku adalah dengan menyerahkan tubuhnya. Padahal, jujur saja, aku sama sekali tidak tertarik baik kepadanya maupun kepada tubuhnya.

“Kamarnya lumayan besar, ya?” ucap wanita itu ketika kami sama-sama masuk ke bagian dalam kamar.

“Untuk harga yang bisa dibilang murah, memang terbilang cukup besar,” sahutku seraya membuka mantel.

“Tapi apa ini?” Setelah membuka seprai yang membalut tempat tidur, dia tiba-tiba tertawa. “Dua kasur single dijadikan satu?” Tawanya benar-benar meledak sekarang. “Pantas saja harganya murah.”

Kuabaikan ocehannya untuk memperhatikan sekeliling. Ukuran kamarnya memang cukup besar. Tidak hanya memuat satu tempat tidur berukuran besar―meskipun ternyata itu adalah dua tempat tidur single yang dijadikan satu, di kamar ini pun terdapat sebuah sofa panjang yang bisa diduduki oleh dua-tiga orang. Ditambah, jarak antara sofa dan tempat tidur pun cukup jauh. Belum lagi dua jendela besar yang langsung menghadap ke jalan. Meskipun bukan jalan besar, dengan adanya dua jendela itu membuat ruangan ini terlihat terang dan semakin luas.

Kuarahkan kaki menuju kamar mandi yang terletak tak jauh dari pintu masuk. Tepat di sebelah pintu kamar mandi, terdapat sebuah wastafel yang dilengkapi dengan cermin besar dan alat pengering rambut. Yah, fasilitas yang cukup lengkap untuk sebuah kamar yang disewa semalaman dengan harga murah. Namun, begitu berbalik aku tak bisa menemukan bak mandi yang biasa digunakan Tuan Muda untuk berendam. Hanya ada sebuah pancuran yang letaknya tak jauh dari kloset.

“Menemukan sesuatu di dalam sini?” Suaranya yang tiba-tiba sudah berada di belakang membuatku tersentak. “Tidak ada bathtub, ya? Sayang sekali,” keluhnya setelah melongok ke bagian dalam kamar mandi.

Aku menggelengkan kepala sebelum akhirnya memutuskan untuk menyudahi penyusuranku di ruangan berukuran 2x2 meter itu.

“Apa yang akan kita lakukan selanjutnya?” tanya wanita itu sambil terus mengekoriku.

Pertanyaan bodoh yang memang seharusnya tak kujawab. Pasalnya, bukankah dia sendiri yang menuntunku ke sini? Itu artinya dia sudah memutuskan untuk melakukan sesuatu di dalam sini, bukan?

“Kita bisa melakukan apa pun yang kau mau,” kataku sebelum merebahkan diri begitu saja di atas tempat tidur.

Dia tersenyum nakal. Setelah membuka mantel, dia ikut naik ke atas tempat tidur, lebih tepatnya ke atasku.

“Kau ingin aku yang mengambil alih?” tanyanya dengan suara menggoda. Ia pun sengaja membusungkan dada, memperlihatkan kedua payudaranya yang besar.

Aku tersenyum, kemudian menjawab, “Anggap saja begitu.”

“Ah! Biarkan aku membersihkan diri sebentar. Kau tidak keberatan, kan?” katanya seraya kembali turun dari tempat tidur. “Atau kau sudah tidak sabar?” Lirikan matanya yang begitu genit malah membuatku bergidik.

Aku mendengkus. “Tidak. Aku akan menunggu.”

Senyumnya mengembang. “Baiklah, tunggu sebentar!” ujarnya sebelum kembali melangkah ke dalam kamar mandi.

Tak kusangka butuh kesabaran ekstra untuk menghadapi orang asing. Tak kusangka pula bahwa ternyata apa yang kulakukan hari ini sangatlah … membosankan!

***



Kubuka mata dan mendapati Angie tengah duduk di atasku dalam keadaan telanjang bulat. Wajah kecilnya yang dihiasi seulas senyum, juga rambut pendeknya yang dalam keadaan basah sehabis mandi, pasti membuat semua pria langsung tergila-gila. Tidak membutuhkan waktu lama bagi pria-pria itu untuk langsung menyerang balik Angie agar bisa segera merasakan kenikmatan yang ditawarkan olehnya. Sayang sekali hal itu tidak berlaku kepadaku. Mungkinkah aku tidak normal? Atau, aku tidak menyukai lawan jenis?

“Sengaja tidak melepaskan pakaian agar aku yang melakukannya, ya?” Dia berbisik, kemudian membasahi telingaku dengan air liurnya. “Tidak apa, biar aku yang melakukan semuanya,” imbuhnya diakhiri sebuah desahan.

Entah kenapa, secara tiba-tiba aku merasa menggigil. Tidak, bukan karena kedinginan. Ini mengigil yang lain. Mengigil hingga bulu kudukku berdiri. Menggigil hingga membuat perasaanku berubah menjadi tak enak.

“Sebentar!” Kudorong tubuhnya dari tubuhku.

“Kenapa?” Wanita itu bertanya dengan raut wajah kebingungan.

Dia pasti sudah ada di sini!

“Ada apa, Nacht?” Kening wanita itu semakin berkerut ketika aku menjauhkan tubuhnya dariku.

Kuputuskan untuk beranjak dari tempat tidur. Namun, begitu sudah berada di posisi duduk dan secara tak sengaja melayangkan tatapan ke arah pintu masuk, seketika aku membeku. Meski begitu, meski telah melihat sesuatu di situ, aku malah memilih untuk mengurungkan niat. Ya, aku tak jadi beranjak. Aku malah tersenyum sambil kembali berbaring.

“Sepertinya ini kali pertamamu, ya.” Wanita itu tidak tahu kalau ocehannya saat ini mungkin adalah ocehan terakhir yang bisa ia lontarkan.

“Sejak kapan Anda berada di situ?” tanyaku dengan suara lantang.

“Apa maksudmu, Nacht?” Angie yang sudah kembali berada di atasku kini melayangkan tatapan dengan penuh tanda tanya.

“Bukan kau,” kataku sambil tersenyum. “Pasti Nona Kalten yang membawa Anda ke sini, bukan?” lanjutku.

“Ayolah! Tidak lucu, Nacht!” Wanita itu kini beralih ke sisi tempat tidur dengan raut wajah merengut. “Aku tidak suka bercandaan seperti ini.”

Lihat selengkapnya