“Guten morgen1, Tuan Muda,” sapaku seraya membuka semua tirai yang menutupi jendela kamar tidurnya dengan kasar.
“Kau mau balas dendam kepadaku, ya?” Dia menggosok-gosok sebelah matanya seraya mengubah posisi ke posisi duduk. Namun, tampak masih enggan untuk keluar dari balik selimut tebalnya. “Jika tidak, kau tidak akan membuka semua tirainya seberisik itu,” lanjutnya.
Aku tersenyum. Kubalikkan tubuh seraya memandangnya dan berkata, “Anda pikir saya sepicik itu? Mana mungkin hanya karena masalah sepele seperti kemarin saya jadi menaruh dendam kepada Anda.”
Tuan muda mencebik. “Kau memang bermulut manis.”
Dia menguap sekarang. Tampang Tuan Muda sehabis bangun tidur memang sangat manis, seperti kebanyakan anak seusianya. Sayang, penampilan luar itu berbanding terbalik dengan diri Tuan Muda yang sesungguhnya.
“Mana minumanku?” Sudah kuduga dia akan langsung memintanya. “Kau tidak mungkin membangunkanku pagi-pagi tanpa membawanya, kan?”
Aku yang sudah berdiri di depan lemari pakaian terpaksa harus kembali meliriknya sambil tersenyum. Kemudian menjawab, “Minuman Anda ada di ruang makan.”
“Hari ini kau benar-benar menyebalkan, Nacht,” desisnya.
“Saya hanya ingin Anda segera turun dari tempat tidur untuk menikmati matahari pagi. Jarang-jarang kita bisa menikmati pagi secerah ini, bukan?” Tentu saja aku berdalih. Aku hanya ingin sedikit mengerjainya saja.
Kudengar dia berdecak.
“Saya akan menyiapkan pakaian Anda terlebih dahulu. Setelah itu, Anda bisa langsung menikmati sarapan sekaligus meminum minuman favorit An―”
“Aku ingin berendam dulu,” selanya yang secara otomatis membuatku kembali mengalihkan pandangan.
“Maaf?” Tidak biasanya dia ingin berendam di pagi hari.
“Seperti yang kubilang barusan, aku ingin berendam sekarang.” Dia mengatakannya sambil bersedekap dan menunjukkan senyum angkuh. “Oh! Jangan bilang kau belum menyiapkannya?”
Aku balas tersenyum. “Anda memang tidak mau kalah,” keluhku. “Saya akan menyiapkannya sekarang,” lanjutku yang kemudian beralih dari lemari pakaian dan mulai melangkah menuju kamar mandi.
Oh, tidak! Lagi-lagi tubuhku terasa panas. Ini sudah yang ketiga kalinya dalam hari ini. Memang seharusnya aku tak membiarkannya mengadakan ritual dadakan seperti dua hari yang lalu. Meskipun sudah cukup lama “berbagi” darah dengannya, aku masih saja belum terbiasa. Rasa panas yang menjalar ke seluruh tubuh setiap kali darahnya mengalir melalui kerongkongan, selalu saja berhasil membuatku kewalahan. Meski sejak awal sudah sering kukatakan bahwa aku sama sekali tak berniat untuk menjadi sepertinya, dia tetap saja tak mau mengerti. Tidak mau tahu.
“Jika peristiwa seperti kemarin datang lagi, aku tegaskan bahwa aku tak mau lagi membantumu, Diener!”
Kemunculan Kalten yang selalu tiba-tiba sudah tak lagi membuatku terkejut. Meskipun ia kini sudah berada di belakangku dalam posisi bersandar pada bibir pintu sambil bersedekap, hal itu tak lantas membuatku terkesiap ataupun tersentak.
“Apa Anda tidak malu mengintip seorang pria yang sedang berada di dalam kamar mandi?” cibirku sambil memasukkan sabun cair beraroma lavendel ke dalam bak mandi.
“Bukannya berterima kasih!” tegurnya yang kuyakini sembari merengut.
Jujur saja, aku malas berhadapan dengannya. Oleh karena itu, aku lebih memilih untuk membelakanginya seperti sekarang.
“Saya tidak meminta Anda untuk melakukannya, bukan? Begitu pun dengan Tuan Muda.”
Aku bisa bertaruh bahwa Tuan Muda tidak meminta tolong kepada iblis perempuan itu. Aku yakin Kalten melakukannya atas dasar keinginannya sendiri.
“Aku hanya tak ingin Licht terkena masalah,” keluhnya.
“Sebegitu sukanya Anda dengan Tuan Muda?”
Dia terkekeh. “Bukan hanya suka, tapi juga sangat kagum,” jawabnya bernada antusias. “Kau tak akan menemukan manusia seperti dia,” imbuhnya.
“Jika ada banyak manusia seperti Tuan Muda, saya yakin Anda tidak akan mengikutinya seperti sekarang,” desahku.
Hening sejenak. Namun, setelah melirik sekilas ke belakang, iblis perempuan itu masih berdiri di sana. Tampak seperti sedang memperhatikanku.
Kutinggalkan posisi jongkok untuk langsung berdiri dan berjalan melewati pintu―melewatinya. Namun, langkahku terhenti seketika begitu ia mulai melontarkan sebuah pertanyaan.
“Kau sendiri, apa alasanmu berdiri di sisinya? Menjadikan dirimu sama sepertinya. Konyol sekali.”
Aku menanggapi cibirannya dengan seulas senyuman. “Keterikatan? Tidak. Mungkin lebih tepatnya … kebiasaan. Ya, saya sudah terlalu terbiasa berjalan berdampingan dengannya. Rasanya akan sangat sulit menghilangkan kebiasaan itu.”
Iblis perempuan itu kini berjalan melewatiku. Ia juga berkata, “Tampaknya aku tak perlu lagi mengingatkanmu atas konsekuensi yang akan kau dapat jika terus bersamanya. Biar bagaimanapun, itu adalah keputusanmu. Bukan begitu?”
“Anda benar. Bersamanya atau tidak adalah pilihan yang saya putuskan sendiri. Siapa pun tidak bisa mengubah keputusan yang sudah saya ambil sejak lama,” lanjutku.
“Dasar bodoh,” umpat iblis perempuan itu. “Seharusnya kau pergi begitu mengetahui jati dirinya. Bukannya malah terus berada di sisinya. Benar-benar bodoh.”
Aku kembali tersenyum. “Jika saya pergi, saya tidak yakin bisa bertahan. Saya juga tidak yakin bisa hidup sampai sekarang,” jawabku.
Iblis perempuan itu kembali berbalik dan menatapku. Kemudian ia kembali berkata, “Meskipun kau tahu bahwa dengan bersamanya kau akan diseret ke neraka?”
“Jangan bilang bahwa sekarang ini Anda sedang mengkhawatirkan saya,” godaku masih sambil tersenyum.
Dia mendengkus. “Kau mulai besar kepala,” kilahnya seraya berbalik. “Semakin banyak manusia yang terjerumus ke lembah kesesatan, semakin menguntungkan pula bagi ‘kami’. Aku hanya tak mengira ada manusia bodoh yang dengan senang hati memilih masuk ke neraka.” Dia mulai melayang. “Nikmati saja kehidupanmu di dunia, Diener. Sebelum akhirnya kematian menjemput dan membawamu masuk ke jurang penderitaan,” sambungnya sebelum benar-benar menghilang dari hadapanku.