SANG PELAHAP JIWA

Emma Susanti
Chapter #15

BAB XIV PENGEJARAN

“Apa yang sebenarnya sudah kau lakukan?” desah Tuan Muda begitu kami sama-sama sudah berada di dalam mobil.

“Maksud Anda?” Aku balas bertanya seraya mengencangkan sabuk pengaman.

Sedikit mengejutkan ketika mengetahui bahwa kami saling melirik melalui kaca spion dalam. Wajahnya yang tengah cemberut itu benar-benar membuatku ingin tertawa. Dia sering sekali mengata-ngatai bahwa tampangku sangatlah konyol. Tapi, lihat tampangnya sekarang! Menggelikan!

“Tentang ‘bumbu’ itu!” tegasnya. “Aku tahu mereka telah mendapatkan sesuatu. Tapi aku tak tahu apa itu,” sambungnya yang sekarang telah beralih menatap ke luar jendela.

Aku tersenyum. “Anda penasaran?” godaku.

Dia berdecih. Kedua netranya kembali kepadaku. “Aku tak peduli apa yang telah kau lakukan. Aku juga merasa bahwa dengan keberadaan mereka akan membuat ‘permainan’ ini semakin menarik. Tapi sekarang memang bukanlah waktu yang tepat,” jelasnya.

Keluhannya saat ini malah terdengar indah di telingaku. Meskipun aku yakin bahwa dia tidak benar-benar kesusahan dengan adanya kedua polisi itu, tapi melihat raut wajah yang sedikit cemberut dan nada bicara yang seolah menunjukkan kekesalan, sudah cukup membuatku merasa puas. 

“Jadi, apa yang akan Anda lakukan sekarang? Mundur?”

Ucapanku seketika membuatnya tergelak. “Mundur? Kau bercanda? Dalam kamusku tidak ada kata ‘mundur’.” Keangkuhannya yang kembali tampak, seketika membuatku merasa kalah. “Lagi pula, sayang sekali jika kita harus melewatkan pemainan baru kali ini.”

Sikapnya yang seolah telah memenangkan pertarungan itu seketika membuatku kehilangan minat. Percuma berdebat dengannya lebih lanjut. Lagi pula, tetap saja tak akan bisa membuatku mendapatkan “trofi kemenangan”.

Lebih baik aku menyalakan mobil sekarang.

“Apakah Anda sudah duduk dengan nyaman?”

“Kau mencoba berbasa-basi?” tanyanya seraya mendelik tajam.

“Saya hanya ingin memastikan,” jawabku seraya mengedikkan bahu.

Sambil menunjukkan senyum misteriusnya dia kembali bertanya, “Apa kau bisa melarikan diri dari mereka?”

“Anda meragukan saya?” Aku balas tersenyum.

“Mungkin.” Dia balas mengedikkan bahu. “Kita lihat seberapa hebatnya kau meloloskan diri,” lanjutnya seraya menyeringai.

“Anda akan menyesal karena telah meragukan kemampuan saya, Tuan Muda,” ucapku seraya menggerakkan tuas transmisi. “Sebaiknya Anda mengencangkan sabuk pengaman Anda.”

“Cerewet!”

Aku hanya tertawa singkat sebelum akhirnya menancap gas setelah pintu gerbang kastel terbuka secara otomatis. Atau lebih tepatnya, dibukakan oleh iblis perempuan yang tengah dilarang ikut campur dalam permainan baru kali ini.

***


Lima belas menit berlalu, dan mereka masih saja mencoba mengejarku. Dari caranya mengemudi, aku yakin bahwa orang yang berada di balik kemudi itu bukanlah inspektur tua yang bernama Recht. Pasti anak buahnya yang bernama Nord yang memegang kendali. Kalau tidak, mereka tidak akan bisa mengejarku sampai ke sini.  

Kuintip sedan hitam di belakang melalui kaca spion luar. Sosok kedua polisi itu memang tidak terlihat jelas. Namun, aku tahu bahwa si pengemudi pastilah kewalahan mengikuti aksiku.

“Sepertinya mereka benar-benar tidak berniat melepaskan kita, Tuan Muda,” ujarku berkomentar.

“Si Tua itu memang keras kepala,” decaknya tak acuh. 

Kegigihan mereka memang patut diacungi jempol. Namun, aku tidak akan kalah.

Suara decit ban yang memekakkan telinga ketika secara mendadak membelokkan mobil ke jalan sempit di sebelah kiri, membuatku semakin bersemangat untuk bermain kejar-kejaran dengan kedua polisi itu. Gerakanku yang cepat dan sangat tiba-tiba membuat mereka tak sempat ikut berbelok. Melirik spion luar untuk melihat situasi selanjutnya, dan mendapati sedan mereka melaju ke arah lain. Ya, sepertinya mereka benar-benar terlambat membanting setir. Meskipun begitu, masih terlalu dini untuk merasa lega. Pasalnya, ujung jalan di depan sana langsung terhubung ke perempatan besar. Mereka bisa saja kembali muncul dari sana. Aku harus kembali memutar otak.

“Apa kau tak bisa mengemudikan mobilnya dengan cara yang lebih beradab?”

Aku terkekeh. “Jika tidak begini akan sulit melepaskan diri dari kedua orang itu, Tuan Muda.”

Aku tahu! Kembali membanting setir ke kanan, masih ke sebuah jalan sempit yang akan menghindarkanku dari perempatan besar di depan sana. Setidaknya, dengan menyusuri “jalan tikus” seperti ini akan lebih memudahkanku untuk menghindar dari kejaran mereka.

“Omong-omong, Tuan Muda, Anda belum memberi tahu saya kita akan ke mana,” ujarku mengingatkan.

Castle Church, Nacht. Friedrichstrasse. Kita ke sana.”

Lihat selengkapnya