“Lihat siapa yang sudah bekerja dengan keras hari ini,” ejek Sam yang tengah menikmati sepotong piza ketika aku baru saja duduk di hadapannya.
“Ha-ha-ha, terima kasih atas pujiannya,” balasku sinis.
Dia tertawa sekarang. “Bekerja itu harus tulus.”
“Hah?! Menurutmu aku tidak tulus?!” hardikku seraya menggebrak meja.
“Woah! Santai, Teman,” katanya sembari mengangkat kedua tangan setinggi dada. “Aku hanya bercanda.”
Bahuku melorot seketika. Aku tahu kalau Sam hanya bercanda, tapi tetap saja candaan semacam itu sangat menyebalkan. Meskipun yang ia katakan sedikit ada benarnya. Kadang, aku juga bertanya kepada diri sendiri, “Apa mungkin aku kurang tulus menjalankan tugas?” Mengeluh, mengeluh, dan mengeluh. Jika bekerja dengan tulus dan sungguh-sungguh, aku tidak akan sering mengeluh, bukan?
“Kenapa? Dipaksa lembur lagi?” tanya Sam setelah menghabiskan penganannya.
Kembali menegakkan tubuh seraya menatapnya. Lalu berkata, “Kau tahu? Aku ini sedang cuti! Tapi Inspektur Recht malah menyuruhku ikut bertugas. Dan lagi, aku juga harus ikut rapat. Benar-benar menyedihkan.”
Sam tertawa lagi. Kali ini tawa puas yang membuatku semakin sebal. Dari dulu dia memang sudah mengesalkan.
“Itulah derita bagi orang-orang yang bekerja di bawah komando Inspektur Recht,” katanya yang masih menyembunyikan tawa di sudut bibir. “Tapi aku tak mengira kalau kau yang akan menjadi partnernya,” sambungnya memicingkan mata.
Mendengkus keras. “Aku juga,” timpalku yang kemudian melayangkan tatapan sinis kepadanya. “Aku iri kepadamu yang masih bisa bersantai sambil menikmati sepotong piza,” lanjutku.
“Mau bertukar posisi?” tanyanya dengan raut wajah berseri. “Kurasa kau lebih cocok bergabung dengan Departemen Tiga. Inspektur Berg orangnya sangat toleran. Dia juga sangat senang bermalas-malasan. Cocok sekali denganmu yang selalu ingin bersantai,” sambungnya dengan gaya bicara yang sangat menyebalkan.
“Lalu kau ke Departemen Satu, menggantikanku sebagai rekan kerja Inspektur Recht, begitu?”
Sam mengangguk mantap. “Kalau aku, pasti bisa mengimbangi cara kerja Inspektur Recht,” katanya penuh percaya diri.
“Enak saja! Mana mungkin aku mau bertukar posisi denganmu. Meskipun bekerja dengan Inspektur Recht sangat melelahkan, ini adalah kesempatan yang bagus untukku. Kau sendiri tahu, kan, kalau bekerja dengannya bisa membuatmu cepat dipromosikan,” ujarku seraya melipat kedua lengan di dada.
“Ooh ….” Sam mengangguk-anggukkan kepala sambil tersenyum licik. “Jadi, kau bersedia bekerja dengan Inspektur Recht hanya karena mengincar promosi jabatan?”
Seketika kuteguk ludah. “Me-memangnya kau tidak?”
“Tentu saja. Tapi bagiku yang terpenting adalah menyelesaikan kasus ini sampai tuntas. Masalah promosi jabatan aku anggap sebagai bonus,” ucapnya bernada angkuh.
Harus kuakui bahwa Sam memiliki visi dan misi yang sama dengan Inspektur Recht. Bukan berarti aku tidak punya. Namun, dari sifat dan gaya bicaranya, mereka benar-benar mirip. Kalau keduanya dipasangkan sebagai partner kerja pasti sangat cocok. Lebih cocok daripada denganku.
“Baiklah, aku tak akan menggodamu lagi,” katanya yang entah kenapa bersikap seolah-olah telah menyerah. “Makanya, bekerjalah yang serius dan jangan banyak mengeluh. Kau tahu berapa banyak orang yang ingin menggantikan posisimu? Selain aku, masih banyak dari departemen lain yang sangat ingin bekerja dengan Inspektur Recht,” sambungnya seakan-akan menyalahkan sikapku.
Sambil berdiri dari tempatnya Sam menawarkan, “Kau mau aku memesankan sesuatu? Sekalian aku juga mau memesan minuman lagi.”
“Piza yang kau makan tadi sepertinya enak,” sahutku sambil tersenyum kecut.
“Oke,” katanya sebelum melangkah ke bagian pemesanan.
Semua yang diucapkan Sam benar-benar membuatku malu. Padahal aku tahu betul banyak dari mereka yang berusaha keras agar bisa mencapai posisiku sekarang. Terkadang aku lupa betapa hebatnya Inspektur Recht. Kebersamaan kami membuatku lupa bahwa dia adalah “manusia super” yang selalu dijadikan panutan banyak orang. Dia adalah manusia dengan segudang prestasi yang mungkin hanya akan ada satu dalam seratus tahun ke depan.
Namun, aku selalu saja mengeluh setiap kali mendapat perintah darinya. Aku selalu kesal setiap kali dia memintaku bertugas di setiap hari libur. Padahal, aku tahu bahwa dia hanya ingin segera menyelesaikan kasus ini. Dia hanya ingin warganya bisa kembali mengecap ketenangan dan kedamaian. Tapi aku … di situasi genting seperti ini malah bersikap egois dan hanya mementingkan diri sendiri. Memalukan!
Mungkin memang lebih baik kalau Sam yang bekerja sama dengan Inspektur Recht ….
***
“Licht Dunkelheit ….” Tiba-tiba saja Sam menggumamkan nama si pemilik kastel menyeramkan yang kini tengah kuselidiki bersama dengan Inspektur Recht.
“Kenapa? Apa kau tahu sesuatu?” tanyaku yang sontak merasa tertarik.
Raut wajah Sam yang seperti sedang berpikir keras itu secara otomatis membuat rasa penasaranku muncul. Namun, seketika aku merasa kecewa begitu Sam menggelengkan kepala. Itu artinya dia tidak benar-benar tahu tentang bocah itu.
“Sebenarnya, aku sempat membahas ini dengan temanku―”
“Hei! Kau tidak boleh membahasnya dengan sembarang orang!” selaku.