“Sebenarnya keputusan pemerintah untuk tidak menyiarkan kasus ini ke media adalah tindakan yang tepat. Dengan begitu masyarakat tidak akan bertambah cemas. Tapi, apa yang membuat mereka berubah pikiran?” tanya Inspektur Recht yang masih tetap memfokuskan perhatiannya ke jalanan di depan sana.
“Aku juga berpikir begitu, Inspektur. Bukankah dengan menyiarkannya ke khalayak ramai hanya akan membuat mereka semakin gelisah? Untung saja kita masih bisa merahasiakan berapa jumlah orang yang telah menjadi korban,” timpalku seraya ikut memperhatikan jalan.
Saat ini kami hendak menyusuri tempat para suster kepala gereja yang telah menjadi korban. Padahal, semua penyusuran sudah dilakukan oleh tim dari Departemen Dua. Namun, Inspektur Recht sepertinya tidak puas jika bukan dia sendiri yang melakukannya. Mungkin dengan kembali menyusuri TKP (Tempat Kejadian Perkara), Inspektur Recht berpikir akan menemukan sesuatu. Yah, semoga saja.
“Aku tidak yakin. Informasi semacam itu mudah sekali didapat, apalagi di zaman canggih seperti sekarang,” kata Inspektur Recht melanjutkan.
“Maksud Anda?” Aku mengernyit dan beralih menatapnya.
“Internet,” katanya dengan nada kesal. “Informasi apa pun bisa didapat dari sana, ‘kan?”
Benar juga!
“Bahkan, salah satu foto korban yang tidak ditayangkan di televisi maupun surat kabar ada di dalamnya.”
“Hmm … maksud Anda korban yang mana?”
“Kau ingat wanita yang bunuh diri di kamar mandi beberapa bulan lalu?”
Kucoba kembali mengingat-ingat. “Ah! Yang memilih bunuh diri dengan cara mengenaskan itu? Yang mencongkel sendiri kedua matanya, ‘kan?” tanyaku kontan bergidik ngeri.
“Ya. Fotonya tersebar di internet dan tanpa sensor sama sekali.”
Foto itu, kan, bukan tontonan yang menarik.
“Tapi bagaimana bisa? Bukankah informasi detail seperti itu benar-benar terkunci rapat untuk publik? Rasanya aneh jika sampai tersebar luas.”
Tentu saja aneh. Itu, kan, merupakan rahasia kepolisian.
“Mungkinkah keluarga korban yang ….”
“Tidak mungkin, kan!”
Sebelum melanjutkan kata-kataku, Inspektur Recht sudah menyela lebih dulu.
“Iya juga, ya,” kataku sambil tersenyum bodoh.
Mana mungkin keluarga korban sendiri yang menyebarkan foto itu. Bahkan, jika aku yang menjadi keluarga korban, aku akan marah kepada orang yang menyebarkan foto itu di internet. Kematian tidak wajar seperti itu tidak seharusnya disebarluaskan. Itu … tidak pantas.
“Disinyalir ada ‘orang dalam’ yang membocorkan rahasia kepolisian dan menyebarluaskannya di internet,” ujar Inspektur Recht yang seketika membuatku tercengang.
“Orang dalam?” Sungguh sulit untuk dipercaya.
“Hanya orang dalam yang tahu informasi sedetail itu, bukan?”
“Benar juga.” Aku mengangguk-angguk. “Bukankah ini berbahaya, Inspektur?”