SANG PELAHAP JIWA

Emma Susanti
Chapter #19

BAB XVIII SPITZBERG

“Pembunuhan bisa terjadi di tempat setenang ini,” gumam Inspektur Recht yang baru saja keluar dari mobil dan memperhatikan sekeliling.

“Tidak masuk akal,” sahutku sembari berjalan mendekatinya. “Aku kira Inspektur Klaus akan ikut bersama kita,” sambungku.

“Dia masih harus menemui seorang suster di Castle Church,” sahut Inspektur Recht yang sontak membuatku mengernyit.

“Castle Church?” tanyaku memastikan.

Inspektur Recht mendesah berat. Kemudian mulai menjelaskan, “Ada seorang suster kepala bernama Maria di sana. Sebelum dia menetap di Wittenberg dan tinggal di Castle Church, dia pernah menjadi perawat panti di sebuah yayasan yang letaknya tak jauh dari pusat kota. Mengingat bahwa si pelaku mengincar semua suster kepala yang pernah bekerja di panti asuhan, tidak menutup kemungkinan bahwa suster bernama Maria itu juga akan menjadi incarannya. Karena itu, Klaus memutuskan menemuinya untuk menawarkan perlindungan.”

“Jangan-jangan, suster bernama Maria itu adalah ….”

“Satu-satunya suster kepala yang tersisa yang pernah bekerja di panti asuhan. Jika dilihat dari lokasi terjadinya pembunuhan, si pelaku sudah pasti akan mengincar suster kepala di Castle Church itu,” sambung Inspektur Recht dengan kedua tangan mengepal.

Peristiwa pertama terjadi di Spitzberg, lalu berpindah ke kawasan Wasserburg, kemudian terus bergeser hingga sampai ke kawasan Wittenberg. Jika memang sudah tidak ada lagi suster kepala yang tersisa selain suster bernama Maria di Castle Church itu, sudah pasti dia yang akan menjadi target selanjutnya.

“Sayangnya, suster itu agak sulit diajak bicara,” ucap Inspektur Recht sedikit mengeluh.

“Maksud Anda, Inspektur?”

“Klaus sudah pernah menemui suster itu sebelumnya. Seperti yang kubilang barusan bahwa niat Klaus hanya satu, yaitu menawarkan perlindungan. Tapi suster itu malah menolak mentah-mentah. Dan dengan sombongnya dia juga berkata bahwa dirinya tidak mungkin menjadi incaran si pembunuh berantai,” jelas Inspektur Recht dengan rahang mengeras.

“Jadi, dia tidak ingin dilindungi?” Aku kembali bertanya.

“Ya.”

Bodoh sekali!

“Karena itu, Klaus memutuskan untuk mencobanya sekali lagi.”

Aku jadi ingin melihat wajahnya. Aku tahu dia suster kepala, tapi bukan berarti dia harus bersikap superior begitu. Kalau benar terjadi apa-apa kepadanya bagaimana? Memangnya siapa yang akan dimintainya pertolongan? Pastor? Atau suster-suster yang lain?

Dasar bodoh!

“Sebaiknya kita bergerak sekarang,” ucap Inspektur Recht. “Tapi sebelum itu, ada baiknya jika kita berziarah terlebih dahulu,” lanjutnya yang kemudian mulai melangkahkan kaki.

***


Area pemakaman terletak tak jauh dari gereja. Untuk mencapai ke sana kami hanya perlu berjalan kaki menyusuri area peternakan. Situasi yang tenang dan terkesan sepi ini membuat bulu kudukku sedikit berdiri. Mungkin karena sudah mulai memasuki musim dingin, hewan-hewan ternak sudah tidak lagi dibiarkan merumput di ladang. Mereka pasti dimasukkan ke kandang yang diberi alat pemanas ruangan. Namun, justru pemandangan tanpa mereka membuat suasana sekitar seakan “mati”.

Sejak menginjakkan kaki di lokasi sekitar TKP, kami sama sekali belum menemukan satu orang pun. Cuacanya memang sangat dingin sekarang, salju juga sedikit demi sedikit mulai turun. Namun, tetap saja aku merasa aneh karena tidak merasakan keberadaan orang sekitar sama sekali.

“Semenjak terjadinya pembunuhan waktu itu, tempat ini memang jadi seperti ini. Sepi seperti tak berpenghuni. Itu informasi yang kudapat dari Klaus.” Inspektur Recht mengatakannya sambil memeluk tubuh yang kurasa sudah mulai kedinginan.

“Setelah kejadian itu, Inspektur Klaus pernah datang lagi ke sini?” tanyaku sambil mencoba untuk tidak bersin.

Lihat selengkapnya