SANG PELAHAP JIWA

Emma Susanti
Chapter #20

BAB XIX INFORMASI BARU

“Santo Joseph …. Helga Hildegard memang tercatat pernah menjadi perawat panti di yayasan kecil milik gereja itu. Letaknya memang di Salzwede. Dia juga diangkat menjadi suster kepala di sana, bukan?” cetus Inspektur Recht.

Senta mengangguk. “Gereja Santo Joseph memang bukan gereja besar. Yayasannya pun sebenarnya tidak cukup layak disebut yayasan. Perawat pantinya saja hanya sedikit. Tapi meskipun begitu, cukup bagi kami yang tidak punya tempat untuk pulang. Cukup untuk anak-anak telantar yang ditinggalkan oleh kedua orang tuanya.”

Pandangan Senta mulai menerawang ke arah altar. Namun, tidak lama kemudian, ia kembali melanjutkan, “Saya tidak tahu kapan tepatnya Suster Helga diangkat menjadi suster kepala. Tapi saat saya baru saja menjadi salah satu bagian dari Santo Joseph, Suster Helga memang sudah menjabat sebagai suster kepala di sana. Saya mulai tinggal di sana ketika usia saya baru saja menginjak delapan tahun.”

“Apa yang membuatmu harus tinggal di sana? Maaf, tapi apa kau yatim piatu?” sela Inspektur Recht memotong cerita.

Senta mengangguk samar. Tatapannya masih menerawang, seperti tengah mengingat kembali apa yang telah ia lalui di masa kecilnya.

“Saya memang yatim piatu sejak lahir, tapi saya tidak langsung menjadi bagian dari Santo Joseph. Saya masih punya nenek. Tapi, begitu nenek saya meninggal, barulah saya benar-benar hidup sebatang kara,” tuturnya menyatukan kedua tangan di atas pangkuan.

“Saya sama sekali tidak punya kerabat dekat. Selama delapan tahun hanya ada saya dan nenek saya. Karena itu, setelah nenek saya tiada, saya tidak tahu harus ke mana. Akhirnya, tetangga sekitar saling berembuk dan memutuskan untuk menitipkan saya di Santo Joseph.”

Hidup sebatang kara sejak kecil pasti tidaklah mudah. Terlebih lagi bagi seorang perempuan. Meski sekarang Senta sudah menjadi gadis dewasa, rasa iba tetap saja tak bisa ditahan.

“Santo Joseph tidak menerima banyak anak. Mungkin karena tempatnya yang tidak besar, juga perawat pantinya yang sedikit. Karena itu, hanya ada tujuh anak termasuk saya yang tinggal di sana saat itu. Lima orang perempuan dan dua orang laki-laki. Saya, Truda, Vranda, Heidi, dan Ilsa. Lalu, ada Alger dan Bannan. Kami bertujuh hidup dalam satu atap yang sama. Suster Helga dan perawat panti lainnya sangat baik terhadap saya. Tapi ….”

Entah kenapa Senta seperti sengaja menggantungkan ceritanya.

“Tapi apa?” tanya Inspektur Recht yang sepertinya tak sabar.

“Saya tidak yakin,” sahutnya menggelengkan kepala.  

Keraguan yang terpancar dari kedua netra Senta tampak sangat mencurigakan. Ada apa sebenarnya?

“Suster Helga sudah meninggal, saya tidak yakin apa boleh menceritakannya kepada kalian,” lanjutnya disertai tatapan hampa.

“Anda tidak ingin melihat pelakunya ditangkap?” tanyaku seketika. Sebisa mungkin aku ingin mendapatkan kembali kepercayaannya. Aku juga ingin menyingkirkan segala hal yang membuatnya diliputi keragu-raguan.

Senta kembali terdiam. Jari jemari tangannya yang saling bertaut memperlihatkan sebuah dilema yang cukup berat. Entah apa yang tengah ia sembunyikan, tapi perasaankku mengatakan bahwa itu bukanlah hal biasa. Hal yang mungkin tak seharusnya diketahui oleh banyak orang.

“Keputusannya ada di tanganmu, Suster,” ucap Inspektur Recht sambil terus melayangkan tatapannya ke depan sana.

“Suster Helga dan perawat lainnya ….” Senta menarik napas dalam-dalam. “Tidak begitu baik kepada Alger dan Bannan,” sambungnya yang otomatis membuatku mengerutkan kening.

“Maksudmu?” Inspektur Recht kembali beranjak dan mendekati kami.

Senta kembali terdiam. Namun, detik selanjutnya ia berkata, “Mereka hanya baik kepada anak-anak perempuan.” Senta mengatakannya dengan berat hati. Lalu, menyatukan kedua telapak tangannya menjadi sebuah kepalan seraya kembali melanjutkan, “Di Santo Joseph, mereka selalu menyiksa kedua anak lelaki itu. Saya dan teman-teman perempuan saya memang tidak melihatnya secara langsung. Tapi, kamar laki-laki dan perempuan yang bersebelahan, membuat kami bisa mendengar semua yang terjadi di kamar itu.”

Berengsek!

“Semua teriakan, semua entakan keras yang entah berasal dari apa, setiap kali saya mengingatnya saya selalu merasa merinding,” tuturnya yang kini memeluk tubuh seolah kedinginan.

“Suster Helga dan para perawat panti benar-benar menyiksa kedua anak lelaki itu?” tanyaku mulai merasa geram.

Anak-anak tanpa kasih sayang orang tua yang seharusnya mereka jaga baik-baik, malah disiksa dan diperlakukan layaknya sampah? Sungguh keterlaluan!  

“Saya masih ingat bagaimana tawa mereka yang menggelegar seakan menikmati semua yang mereka lakukan kepada Alger dan Bannan. Setiap kali kami mendengar itu, kami berlima selalu duduk di satu tempat tidur sambil saling berpelukan. Dan setelah suara-suara mengerikan itu berganti hening, kami selalu mengendap-endap keluar kamar untuk beralih ke kamar Alger dan Bannan. Hanya untuk sekadar mengecek bahwa mereka baik-baik saja. Tapi yang kami temukan adalah, Alger dan Bannan dengan tubuh bergetar, meringkuk di atas lantai, dengan guratan luka baru di sekujur tubuhnya. Pemandangan seperti itu tidak jarang kami temukan. Apalagi ketika melihat Bannan menangis sambil menahan perih karena luka-luka itu.”

Benar-benar biadab!

“Bagaimana dengan Alger?” Inspektur Recht menginterupsi.

“Bukannya kami tidak mengkhawatirkannya sama sekali. Hanya saja, Alger tak pernah menunjukkan raut wajah menyedihkan seperti Bannan. Sepertinya, dia lebih memilih untuk menyembunyikan semua rasa sakitnya. Alger memang tidak seperti Bannan yang ceria dan mudah berbaur dengan siapa saja. Bahkan, tak jarang saya menemukannya bermain sendirian di halaman belakang. ‘Alger si Penyendiri’, kami sering menyebutnya begitu.” 

Aku dan Inspektur Recht seketika saling berpandangan. Tampaknya kami telah mengantongi dugaan sementara motif pembunuhan Helga Hildegard. Meskipun demikian, keterangannya saja masih belum cukup. Kami masih harus menggali lebih dalam, karena masih banyak kemungkinan lain.

“Lalu apa yang dilakukan pastor di sana? Tidak mungkin dia tidak tahu apa yang sering dilakukan Helga Hildegard kepada kedua anak lelaki itu, bukan?” tanya Inspektur Recht.

Benar. Seharusnya pastor di sana juga tahu dan langsung bertindak.

“Penyiksaan terhadap Alger dan Bannan dilakukan setelah saya sudah hampir setengah tahun menjalani kehidupan di sana. Semenjak penyiksaan itu dimulai, saya dan yang lain tidak pernah lagi bertemu dengan Vater Othman. Setiap kali saya bertanya tentangnya, Suster Helga selalu memberikan jawaban yang sama, ‘beliau harus mengatur beberapa urusan di pusat kota’. Santo Joseph memang berada di daerah terpencil. Karena itu, saya tak pernah bertanya lebih lanjut. Mungkin memang banyak urusan yang hanya bisa diselesaikan oleh Vater di sana.”

Itu artinya Helga Hildegard bisa dengan leluasa menyiksa kedua anak lelaki itu.

Lihat selengkapnya